Kenapa, Sih, Kita Suka Meninggalkan Komen-Komen Jahat di Internet?

Menurut saya, fitur komen di semua media sosial—Instagram, Facebook, Youtube, Path, Twitter, apalagi ask.fm—adalah pisau bermata dua.

Di sisi baiknya, fitur komen bisa membuat kita saling berbagi simpati dan dukungan kepada orang-orang lain. Misalnya, sahabat kita—atau bahkan artis idola kita—lagi terkena musibah atau justru lagi dapat rezeki, dan membagi momennya di medsos. Nah, kita bisa dengan gampang memberikan dukungan atau ucapan selamat di kolom komen.

Lebih jauh lagi, fitur komen bisa jadi “corong” kritik, bahkan sampai menciptakan efek yang sebegitu besar. Pasti tahu, dong, mulai dari Karin Novilda sampai Mendikbud Muhadjir Effendy aja bisa “jatuh” karena komen-komen di medsos.

Di sisi jeleknya, belakangan ini, kayaknya masyarakat merasa bahwa mengkritik SIAPAPUN dengan cara APAPUN di medsos adalah sesuatu yang sah banget.

Salah satu contoh kasusnya adalah Justin Bieber.

Harus diakui, belakangan ini Justin memang agak cari perkara, sih. He’s becoming somewhat of a bad boy. Dia suka mabuk, suka ngambek, bahkan ada gosip, dia pernah menghamili fans-nya. Memang, sih, kadang ada artis yang kelihatannya “suka cari perkara” sehingga mengundang banyak komen di medsos mereka.

Masalahnya, belakangan ini hate comments atau online abuse kepada Justin semakin nggak terkontrol. Maka nggak heran kalau minggu lalu, Justin sampai menghapus akun Instagramnya, setelah followers-nya memposting banyaaaaak sekali hate comments di Instagram Justin tentang Sophia Ritchie, yang dikabarkan sedang dekat dengannya.

Gara-gara reaksi Justin yang emosional ini (padahal harusnya, sebagai public figure, Justin nggak usah bereaksi. Nggak usah buka medsos sekalian, lah!), banyak orang mengkritik Justin tukang ngambek.

Banyak juga yang skeptis menebak, drama ini cuma publicity stunt alias setting-an antara Justin Bieber dengan Selena Gomez aja (udah tau ‘kan, mereka juga berbalas-balasan komen pedas di Instagram?). Tetapi kelihatannya, sih, enggak. Kelihatannya, sikap negatif online orang-orang memang sudah keterlaluan, dan Justin adalah salah satu dari sekian banyak seleb yang muak banget menghadapi sikap negatif online tersebut.

Suka atau enggak, salah satu resiko menjadi public figure adalah menjadi “terekspos” di ranah kritik publik, ketika mereka sharing hal-hal tentang kehidupan pribadi mereka di muka umum, termasuk di medsos

Tapi bukan berarti kita “sah” seenaknya memberikan komen bersifat bullying! FYI, kritik yang pintar dan membangun itu SANGAT BERBEDA , lho, dengan bullying atau hate comments.

Bedanya apa? Yang paling jelas, nih, bullying atau hate comments adalah komen tertulis yang secara eksplisit berniat untuk menyakiti orang yang dikomentari. Jadi “nilai” komen di medsos memang tergantung niat kita, gaes. Kalau niat kita jelek dan penuh kebencian, pasti “terbaca” juga dari komen yang kita tinggalkan.

***

Ketika kita memberikan komentar di medsos, kita merasa “aman” untuk mengeluarkan isi hati sepuasnya. Hal ini bisa menimbulkan perasaan power trip atau sok jago. Pokoknya, jadi merasa hebat banget, deh. Bahkan mungkin kamu mikir, “Liat dong, mereka ini seleb-seleb kaya raya, tapi rakyat jelata seperti gue bisa “berbicara” kepada mereka lewat medsos!”

Dengan menulis komentar di akun public figure—dari mulai artis sampai presiden, bahkan presiden negara lain—kita jadi bisa “menyentuh” kehidupan mereka, walaupun hanya sedikit.

***

Jadi, kenapa, sih, orang-orang suka banget marah-marah atau menulis komen yang menyakitkan hati di medsos?

Pertama, karena di Internet, kita bisa menyembunyikan identitas.

Riset telah menemukan, orang-orang yang berkomentar jahat dengan anonim atau dengan akun palsu itu bakal merasa NGGAK bersalah, berhubung mereka jadi bisa komen seenaknya sambil “bersembunyi” dibalik identitas palsunya. Sehingga sekasar apapun kata-kata mereka, mereka merasa bebas dari tanggung jawab.

Kedua, karena di Internet, kita bisa cari “teman” menyerang.

Ada sebuah artikel di The New Yorker yang bilang bahwa sebuah kelompok besar—termasuk kolom komen di postingan medsos—bisa menciptakan efek psikologis bernama “penyebaran tanggung jawab”.

Artinya, kalau kita meninggalkan hate comment, kita bakal merasa nggak (terlalu) bersalah kalau orang-orang lain juga meninggalkan hate comments senada. Hal ini berlaku banget di Indonesia, dimana orang-orangnya suka malu-malu, tapi sebenarnya ingin mencela.

Makanya, mungkin nggak ada orang yang mencela Mbak Bella Shofie di awal kemunculannya, beberapa tahun lalu. Tetapi ketika Mbak Bella mulai dicela segelintir orang, baru, deh, segambreng orang lainnya berani ikutan mencela dia.

Ketiga, karena kita berjarak jauh dari subyek yang kita cela.

Ketika celetukan ide sekolah full-day keluar, masyarakat berani mencaci Pak Mendikbud dengan sangat kasar, karena masyarakat merasa “jauh” dari Pak Menteri.

Tentunya, mencela subjek yang jauh itu lebih gampang, dibanding mencela subjek yang berdiri di depan muka kita.

Menulis komentar juga menimbulkan perasaan “disconnection” atau “terputus”. Saat meninggalkan komentar di akun seleb, misalnya, kita sering menganggap seleb nggak punya perasaan. Kita bisa seenaknya meninggalkan komen yang menyakitkan, karena perasaan empati kita juga “putus”. Padahal seleb, pejabat, atau siapapun juga manusia, gaes. Bisa sedih, bisa marah, bisa sakit hati. Apalagi kalau mereka diserang, padahal nggak salah apa-apa.

Keempat, karena nggak seperti debat langsung face-to-face, ketika menulis komen, nggak ada lawan bicara yang bisa memotong perkataan kita.

Di kolom komen, kita bisa ngomel dengan “sadis” berparagraf-paragraf panjangnya, trus merasa hebat sendiri, karena nggak ada lawan bicara yang bisa memotong pembicaraan kita, atau balik mengintimidasi kita dalam hitungan detik. Akibatnya, we feel so powerful.

Komika Pandji Pragiwaksono pernah bercerita di sebuah vlog. Suatu hari, dia tampil membawakan stand-up comedy. Karena materi yang dibawakan Pandji cukup kontroversial, setelah acara, dia mengundang penonton untuk berdiskusi atau menyanggah materinya, kalau misalnya ada yang nggak setuju. Penonton nggak ada yang bereaksi.

Setelah acara, ada seorang penonton yang mengajak Pandji foto bareng. Orangnya kalem, dan nggak ngajak Pandji ngobrol apa-apa. Tetapi setelah dia pulang, orang ini langsung membuat postingan panjang lebar di Facebook, yang isinya mencela sesi stand-up Pandji habis-habisan. Di postingan tersebut, dia mencantumkan fotonya bersama Pandji, bahkan nge-tag Pandji.

Pandji tentu heran. Lah, orang ini pas ketemuan, diem-diem aja. Malah ngajak foto bareng! Pas di Facebook, kok, ngomel?

Ini yang namanya "jagoan ketik" kali, ya.

***

Gaes, mem-bully secara online itu sama menyakitkannya dan sama dosanya dengan mem-bully secara langsung. Bahkan bisa jauh lebih nggak sehat. Bukan cuma buat orang yang di-bully, tetapi juga buat si pem-bully.

Bahkan beberapa tahun lalu, media online Popular Science mengumumkan bahwa mereka menutup kolom komen di situs mereka. Padahal mereka adalah media online tentang sains, lho! Tetapi ternyata orang Amerika memang hobi memperdebatkan apapun, termasuk hal-hal intelek seperti teori ilmu alam. Nggak cuma berdebat soal seleb ya, sob.

Ternyata, banyak online media yang juga melakukan hal ini.

Menurut Popular Science, perdebatan online di kolom komen mereka sudah sangat nggak sehat, sampai merendahkan integritas sains itu sendiri. Gara-gara komen segelintir orang, persepsi pembaca terhadap artikel-artikel scientific pun bisa berubah, lho.

Meninggalkan komen-komen yang negatif dan jahat sama dengan membuang-buang waktu dan energi kamu serta orang-orang lain. Pokoknya efeknya merusak banget, deh.

Sayangnya, entah kenapa, sekarang ini netizen lebih suka membaca hal-hal yang berhawa negatif dan penuh kemarahan di Internet. Akibatnya, netizen sering terpancing untuk memberikan reaksi yang nggak kalah negatif dan emosional. Budayanya udah destruktif banget.

Semoga pembaca Youthmanual nggak pada begini, ya.

(sumber gambar: proofdigital.com, youtube.com, samaa.tv)

POPULAR ARTICLE
LATEST COMMENT
Muhamad Rifki Taufik | 1 hari yang lalu

4 Langkah menulis naskah film yang sangat bagus untuk mengembangkan skill penulisan saya. Terima kasih untuk ilmu yang bermanfaat.

4 Langkah Menulis Naskah Film yang Baik Bagi Pemula
Al havis Fadilla rizal | 1 bulan yang lalu

Open pp/endorse @alfadrii.malik followers 6k minat dm aja bayar seikhlasnya geratis juga gpp

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 2 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 11,6 followers dm ya bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 2 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 1,6 followers dm ya, bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
AtomyFirst Chanel | 2 bulan yang lalu

Open PP @houseofshirly foll 427k @Idea_forhome foll 377k @myhomeidea_ foll 270k. Harga Paket lebih murah. DM kami yaa..

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Dibuat dan dikembangkan di Jakarta, Indonesia Hak Cipta Dilindungi 2015 - 2024 PT Manual Muda Indonesia ©
Rencanamu App

Platform Persiapan Kuliah & Karir No 1