Pro-Kontra: Skripsi atau Non-Skripsi?

Mungkin kamu pernah dengar urban legend tentang proses pembuatan skripsi yang mengerikan itu. Bikin susah tidur, susah makan, susah pacaran, susah hidup, dan yang paling parah, susah lulus. Kasian, ya? Tapi saya nggak ngalamin semua itu, tuh! *jumawa*

Soalnyaaa... saya memang  lulus nggak pakai skripsi! Apaaa?!

Yup, memang ada beberapa jurusan—seperti di sini—yang fleksibel. Mahasiswanya bisa lulus dengan menyusun skripsi ATAU cukup dengan mengambil mata kuliah sampai memenuhi kuota 144 SKS. Jadi kamu bisa kuliah aja terus, sampai tau-tau SKS-nya cukup.

Ada juga beberapa jurusan yang menawarkan jalur magang dan ujian komprehensif sebagai alternatif syarat kelulusan.

Tapi perlu diingat, nggak semua jurusan menawarkan jalur ini.

Banyak, lho, pro dan kontra tentang jalur non-skripsi. Saya juga sempet galau dan mengalami pergulatan batin (UFC kali, gulaaat…) ketika harus menentukan pilihan mau skripsi atau nggak, apalagi waktu menemukan anggapan-anggapan yang kontra non-skripsi, seperti:

1. Nggak bisa melanjutkan pendidikan S2 dan apply beasiswa

Katanya, sih, kalau mau lanjut S2, skripsi S1 menjadi keharusan. Apalagi kalau ngincer beasiswa.

Well, mungkin ada jurusan atau scholarship foundation yang mensyaratkan skripsi. Tapi dari pengalaman pribadi saya, nggak ngaruh, tuh! Saya dan teman-teman yang menempuh jalur non-skripsi nggak terhambat untuk nerusin studi ke pascasarjana. Malah, salah satu teman saya yang non-skripsi ada yang sukses mendapatkan beasiswa full untuk program Master di luar negeri.

2. Susah dapat kerja

 “Kalau nggak skripsi, nanti susah dapat kerja, lho,” katanya. Wah, sepanjang pengalaman saya ngelamar anak orang kerja dan berkarir, saya nggak pernah, tuh, nemu lowongan pekerjaan atau staf HR yang minta lampiran skripsi.

Jadi menurut saya, pandangan ini bisa dibantah.

3. Nggak merasakan menjadi mahasiswa seutuhnya

Ada yang bilang, kuliah tanpa skripsi itu kayak makan gorengan tanpa cabe rawit. Kurang greget, bro! Tapi ada juga yang nggak beranggapan begitu. Intinya, subyektif dan debatable, lah.

Dengan pergi ke kampus, belajar di kelas, ikut unit kegiatan mahasiswa pleus nongkrong bareng mahasiswa lain, saya cukup merasa jadi mahasiswa seutuhnya, tuh. Ihiiiy.

4. Lulus tanpa karya

Yes, skripsi memang sebuah karya yang patut dibanggakan. Yaeyalah, ngerjainnya aja pake perjuangan. Apalagi kalau skripsi kita bisa bermanfaat untuk orang banyak atau berhasil mendapatkan suatu penghargaan. Makanya, skripsi itu harus dikerjakan dengan niat, jangan asal-asalan. Soalnya, semakin baik skripsi kita, semakin baik juga “jejak” yang kita tinggalkan di kampus.

Dan yang pasti, jangan plagiat!

Nah, kalau kita nggak punya skripsi, apakah berarti kita nggak bisa punya “jejak karya” di kampus?

Bukan. Artinya, mahasiswa non-skripsi punya tantangan baru: how to leave your mark at campus. Mungkin dengan ikutan membela tim olahraga fakultas di kompetisi? Menggelar sebuah acara kampus? Bikin paper yang keren banget sampai masuk jurnal ilmiah? Atau menyusun bundel catatan mata kuliah untuk di-copy dan diturunkan ke anak-cucu  junior? Bisa juga ‘kan...

5. Kesulitan bikin tesis

Sebenarnya, skripsi dan tesis beda, lho. Bisa dibilang, tesis lebih rumit.

Tapi keduanya sama-sama karya tulis akademis yang butuh riset, sehingga saya setuju bahwa pengalaman menyusun skripsi adalah salah satu bekal menggarap tesis.

Berdasarkan pengalaman pribadi, saya rada kewalahan ngadepin tesis karena nggak punya pengalaman membuat skripsi. Perlu waktu dan usaha ekstra untuk ngejar ketertinggalan pengetahuan  mereka yang pernah skripsi.

Etapi ada aja, lho, orang yang nggak pernah nyusun skripsi, tapi bisa nuntasin tesis dengan cemerlang. Yang penting usaha, sob!

***

Terlepas dari beberapa low points-nya, saya akhirnya tetap mantap memilih jalur non-skripsi karena beberapa poin pro non-skripsi, yaitu:

1. Nggak ada hal menarik yang ingin diangkat.

Ini alasan yang personal banget: saya nggak menemukan topik yang ingin diulik. Menurut saya, menggarap skripsi butuh passion. Daripada maksa menggarap topik skripsi dengan setengah hati, mendingan nggak usah sekalian.

Lagi-lagi, saya bisa mengatasnamakan passion begini karena di jurusan saya ada pilihan non-skripsi. Tapi kalau jurusan kamu mewajibkan skripsi, saran saya, cari terus sampai menemukan topik yang sreg di hati.

2. Pengganti skripsi lebih seru

Sebaliknya, saya ngeliat alternatif pengganti skripsi yang tersedia jauuuh lebih menarik, yaitu ikut berbagai kelas yang seru. Makin mantap, lah, saya di jalur indie. Eh, non-skripsi.

Heits, karena saya non-skripsi, bukan berarti saya bisa nyantai, lho. Asal tau aja, tugas-tugas dari kelas-kelas pengganti skripsi wuarrrrbiasak. Banyak dan susah banget! #telenvitamin

Tapi karena udah kepincut sama kelasnya, saya pun mengerjakan semua dengan sungguh-sungguh.

3. Tetap kuliah bareng teman-teman

Jujur aja, nih. Kalau saya ngambil skripsi, saya sumpek ngebayangin satu semester penuh hanya berkutat dengan urusan karya tulis. Kayaknya bakal sepi dan bikin rindu suasana kampus.

Sementara dengan jalur non-skripsi, saya bisa masuk kelas secara reguler atau bahkan nyobain magang.

4. Risiko tertunda lulus lebih kecil

Ini sebenarnya tergantung pribadi masing-masing, sih. Tapi bagi saya, skripsi yang timeline pengerjaannya diatur diri sendiri itu lebih banyak godaannya. Bisa aja saya berminggu-minggu nggak mood, trus malah terpaksa begadang seminggu karena kejar tayang ditagih pembimbing. Belum lagi kalau harus ngejar-ngejar dosen pembimbing yang sibuk.  

Sebaliknya, alternatif skripsi relatif lebih teratur penjadwalannya. Mungkin inilah kenapa banyak mahasiswa non-skripsi bisa lulus hanya dalam waktu 3,5 tahun.

5. Nggak ribet dengan hal teknis

Salah satu hal yang bikin saya nervous nyusun skripsi adalah detil teknisnya, seperti nge-print - fotokopi - jilid - hardcopy - revisi - nge-printlagi - salahhalaman - nge-print - jilid - dan seterusnya sampe tua!

Apalagi saya kurang teliti dengan hal-hal detil. Trus, malas juga lihat tumpukan kertas yang menggunung. Itung-itung non-skripsi bisa mengurangi pemakaian kertas, lah!

***

Jika dihadapkan dengan pilihan skripsi atau non-skripsi, setiap orang pasti punya preferensi masing-masing, walaupun dengan segala plus minusnya. Misalnya saya yang mantap—dan untungnya nggak menyesal—milih non-skripsi.

And that’s okay.

Yang nggak oke adalah sikap meremehkan lulusan non-skripsi, atau sebaliknya.

Kalau kamu masih bingung mau pilih skripsi atau non-skripsi, coba deh cari info sebanyak-banyaknya tentang keduanya. Trus, tukar pikiran dengan dosen pembimbing, ortu, senior, pacar, atau semuanya (siapa tau kamu pacaran sama senior yang juga anak dosen pembimbing? Paket lengkap!).

Apapun pilihanmu, jalanilah dengan komitmen penuh. Seperti komitmen kamu sama pasangan hidup. Ihiy!

(sumber gambar: Ottomortgage, Memecrunch, Memegenerator, Cluciety)

POPULAR ARTICLE
LATEST COMMENT
Muhamad Rifki Taufik | 1 hari yang lalu

4 Langkah menulis naskah film yang sangat bagus untuk mengembangkan skill penulisan saya. Terima kasih untuk ilmu yang bermanfaat.

4 Langkah Menulis Naskah Film yang Baik Bagi Pemula
Al havis Fadilla rizal | 1 bulan yang lalu

Open pp/endorse @alfadrii.malik followers 6k minat dm aja bayar seikhlasnya geratis juga gpp

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 2 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 11,6 followers dm ya bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 2 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 1,6 followers dm ya, bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
AtomyFirst Chanel | 2 bulan yang lalu

Open PP @houseofshirly foll 427k @Idea_forhome foll 377k @myhomeidea_ foll 270k. Harga Paket lebih murah. DM kami yaa..

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Dibuat dan dikembangkan di Jakarta, Indonesia Hak Cipta Dilindungi 2015 - 2024 PT Manual Muda Indonesia ©
Rencanamu App

Platform Persiapan Kuliah & Karir No 1