Teknis Lengkap Pelaksanaan SBMPTN 2019, dan Mengapa Sistem Seleksi Perguruan Tinggi Di Indonesia Sudah Sepatutnya Diubah

Hari ini (22/10), akhirnya kepastian yang ditunggu-tunggu siswa kelas 12 datang juga: Kementrian Riset, Teknologi, dan pendidikan tinggi (Kemristekdikti) akhirnya menetapkan kebijakan terkait seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tahun 2019.

Pola seleksi masuk PTN akan tetap dilaksanakan dalam 3 jalur: SNMPTN, SBMPTN, dan Seleksi Mandiri. Akan tetapi dengan daya tampung yang berbeda dari tahun sebelumnya: SNMPTN minimal 20%, SBMPTN minimal 40%, dan Seleksi Mandiri minimal 30%.

Kebijakan ini pun terkait pengembangan model dan seleksi yang berstandar nasional dan mengacu pada prinsip adil, transparan, fleksibel, akuntabel, serta sesuai perkembangan teknologi informasi di era digital. Untuk itu, mulai tahun 2019 mendatang Kemristekdikti akan memberlakukan kebijakan di bidang seleksi penerimaan mahasiswa baru yang dilaksanakan oleh Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT).

LTMPT sendiri merupakan lembaga independen nirlaba penyelenggara tes masuk Perguruan Tinggi bagi para calon mahasiswa baru. Dalam proses penerimaan mahasiswa baru, LTMPT berfungsi untuk mengelola dan mengolah data calon mahasiswa baru yang mengikuti SNMPTN dan SBMPTN, juga melaksanakan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) untuk SBMPTN.

Wacana pergantian sistem seleksi yang dikenal dengan “Test Center” ini sebenarnya sudah beredar dari tahun lalu, gaes.  Makanya, dari ketiga jalur masuk PTN yang dipengaruhi kebijakan ini, paling jelas SBMPTN-lah yang perubahannya paling kentara. Agar kamu makin paham, coba cek infografik-infografik di bawah ini, deh.

 

Teknis Lengkap Pelaksanaan SBMPTN 2019

sbmptn 2019

sbmptn 2019

Mengutip pernyataan Menristekdikti Mohamad Nasir beberapa waktu lalu, ada beberapa alasan yang membuat kebijakan ini diwacanakan sejak tahun lalu. Diantaranya adalah untuk mengurangi biaya untuk seleksi masuk PTN yang selama ini membebani calon mahasiswa serta meminimalisir kecurangan.

“Test Center [LTMPT] itu diharapkan bagaimana meminimalisasi biaya. Memaksimalkan layanan [penggunaan inovasi teknologi]. Bayangkan, di daerah 3T (terluar, terdepan dan tertinggal), dia [calon mahasiswa] akan ikut tes (SBMPTN) biayanya bisa jutaan rupiah. Kalau dengan Test Center ini, dia tak perlu datang ke tempat tes itu. Bisa dari jarak jauh. Tingkat kecurangannya pun bisa diminimalisir,” kata Beliau.

Tiap kali ada perubahan sistem penerimaan mahasiswa baru untuk PTN, pasti kamu anak kelas 3 dan yang lagi gap year dan punya cita-cita kuliah di PTN pada kebakaran jenggot. Tapi kali ini, bisa dibilang kamu rasanya kayak kebakaran satu badan karena sistemnya yang beda banget.

Yegak?

 

Sudah Saatnya Sistem Seleksi Perguruan Tinggi Kita Perlu Diubah

Jika kita melihat kilas balik seleksi penerimaan mahasiswa baru yang ada (terutama seleksi masuk PTN), selalu ada perubahan yang diterapkan tiap pelaksanaannya. Misalnya, sejak tahun 1970-an sampai tahun 2018, SKALU dan SKASU berevolusi menjadi SNMPTN, SBMPTN, dan Seleksi Mandiri. Dari yang tadinya hanya diikuti oleh 5 PTN, kini mencapai 87 PTN dengan bentuk seleksi yang beragam—mulai dari prestasi akademik sampai ujian mata pelajaran sesuai peminatan program studi.

Idealnya, perubahan sistem yang diterapkan hendaklah mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan pendidikan tinggi untuk mempersiapkan lulusannya untuk memecahkan persoalan dan menjawab tantangan yang akan dihadapi negara kita di masa yang akan datang.

Menristekdikti pernah bilang kalau pendidikan di Indonesia masih berorientasi nilai akademik. Padahal, ada hal yang jauh lebih penting untuk dikuasai dibanding mengejar nilai, yaitu menguasai kemampuan yang dibutuhkan untuk masa depan. Nah, hal ini berdampak pada kualitas output PTN yang akhirnya lulus dan masuk ke dunia kerja. Kompetensi mereka masih jauh banget di bawah standar karena mereka tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan. Yang mereka punya hanyalah nilai.

That’s why kalau kita lihat benang merahnya, sebenarnya nggak ada perubahan yang cukup berarti dalam pelaksanaan seleksi yang dulu-dulu, kecuali penamaan dan sistem yang semakin membingungkan. Bagaimana dengan output-nya? Tetap sama. Nggak ada perkembangan.

Eniwei, ternyata ini adalah salah satu alasan kenapa kuota SNMPTN dikurangi, gaes. Kata Menristeksikti, sejauh ini performa mahasiswa SNMPTN ternyata nggak sejalan dengan nilai rapor mereka yang tinggi dan portofolio mereka yang bertumpuk.

Dari segi seleksi, bentuk dan teknis pelaksanaanya pun gitu-gitu aja. Setiap tahun siklusnya sama: pemerintah ganti aturan, calon mahasiswa panik, calon mahasiswa ngomel, pemerintah nggak mendapatkan hasil yang diinginkan, pemerintah ganti aturan lagi, calon mahasiswa panik lagi, begitu terus. Yang penting tetep belajar biar dapet nilai tinggi.

Prosesnya pun dinomorsekiankan. Padahal, ketika prosesnya berjalanlah seseorang bisa menguasai kemampuan-kemampuan tersebut. 

Beda cerita ketika tahun lalu sistem Test Center dijadikan wacana dan disahkan oleh Menristekdikti untuk siap diimplementasikan tahun 2019. Paniknya dobel karena selain direncanakan untuk menggantikan SNMPTN dan SBMPTN di masa depan, perjuangan kamu mati-matian untuk menghafal jutaan lembar materi pelajaran di bangku sekolah dan bimbel mungkin akan nggak berguna karena materi yang diujikan (apalagi dengan sistem HOTS) akan berbeda 180 derajat.

Kesel? Wajar. Nyesek banget rasanya ketika tenaga, waktu, dan materi kamu untuk mempelajari sesuatu yang ternyata nggak ada gunanya—bahkan hanya untuk sebatas seleksi masuk perguruan tinggi yang tiba-tiba sistemnya nggak sesuai dengan apa yang kamu persiapkan sejak jauh-jauh hari.

Tapi coba kamu cerna lagi baik-baik informasi yang ada di infografik di atas, deh. Baca baik-baik. Kenapa? Karena sesungguhnya sistem ini akan sangat memudahkan kamu!

 

Apa Pengaruh (Baik) Perubahan Sistem Ini Untuk Kamu?

Sesungguhnya, kamu yang merasakan perubahan sistem di tahun 2019 nanti adalah kaum yang beruntung. Sistem seleksi SBMPTN yang saat ini selain memberikan kesempatan yang sama untuk siapa pun yang ingin masuk PTN, penilaian yang dilakukan pun jauh lebih objektif karena tidak hanya mengukur kemampuan akademik, tapi juga kemampuan kognitif yang kamu miliki.

Dengan kata lain: mau nggak mau, dalam prosesnya kamu juga diajarkan untuk mempelajari kemampuan yang dibutuhkan untuk menjadi seorang mahasiswa.

Pertama, sistem diubah untuk menghindari kebocoran soal dan mengajarkan calon mahasiswa untuk tidak “mengakali sistem” alias mengejar nilai setinggi-tingginya tanpa mengilhami prosesnya.

Misalnya, menghafalkan materi/kisi-kisi yang tidak perlu. Padahal apa yang dihafalkan tersebut mayoritas tidak dibutuhkan baik ketika kamu jadi mahasiswa ataupun sudah memasuki dunia kerja. Atau lebih kacau lagi ketika skoring SBMPTN masih menggunakan sistem yang lama, malah “menabung nilai” di TPA, Bahasa Indonesia, dan Biologi. Padahal incerannya masuk program studi Teknik Informatika. Yha.

Di sosial media, kita udah pernah menyamakan wacana sistem Test Center dengan SAT yang merupakan tes seleksi masuk Perguruan Tinggi di Amerika Serikat. Kehadiran LTMPT dan sistem SBMPTN baru ini diharapkan untuk “membenarkan” sistem seleksi perguruan tinggi yang selama ini tidak adil, tidak transparan, dan tidak mampu memberikan output yang dibutuhkan pendidikan tinggi dan kedepannya, dunia kerja. SNMPTN dianggap tidak adil karena sekolah masih memiliki banyak andil dalam mengkatrol nilai siswa demi ego masing-masing sekolah untuk membangun citra baik, dan penilaian SBMPTN/Seleksi Mandiri tidak pernah ada transparansi antara PTN dengan calon mahasiswa, dan jenis seleksi (bahkan standar!) yang tidak sama di masing-masing PTN untuk Seleksi Mandiri.

SAT sendiri pun diselenggarakan oleh lembaga independen tanpa campur tangan Perguruan Tinggi mana pun. Dalam tesnya materi yang diujikan adalah Reading, Writing, Language, dan Math (with/without calculator). Yep, kamu nggak salah baca: cuma kemampuan dasar. Dan percaya atau nggak, kemampuan-kemampuan dasar itulah yang menjadi modal utama seseorang untuk bisa menjadi seorang mahasiswa. Bukan nilai yang tinggi menjulang!

Bukan tanpa alasan kenapa tes SAT terlihat sangat standar dan nggak sekompleks SBMPTN yang kita punya. Logikanya, kalau calon mahasiswa aja belum menguasai kemampuan tersebut, gimana dia nanti bisa mengikuti proses belajar mengajar di pendidikan tinggi yang sangat student-centric?

Oya, di sisi lain, Kemendikbud sudah menyinggung-nyinggung mengenai pentingnya pendekatan HOTS (Higher Order Thinking Skill) dan mulai menerapkannya di Ujian Nasional tahun lalu. Pendekatan HOTS menuntut siswa untuk dapat mengasah logika matematika, critical thinking danbahkan problem solving skill. Dengan HOTS, pelajar mampu untuk menggunakan ilmu dan pengetahuan yang dipelajari untuk menganalisa, mengevaluasi, bahkan menciptakan sesuatu.

Sedangkan standar pendekatan LOTS (Lower Order Thinking Skill) yang kita gunakan sampai saat ini sudah sangat tertinggal karena hanya sebatas pada tingkat menyimpan informasi ilmu pengetahuan saja. Bayangin kalau kita masih stuck pada pendekatan LOTS sampa berpuluh-puluh tahun ke depan. Bukannya mengejar ketertinggalan, yang ada kita malah makin ketinggalan di belakang.

Dengan pendekatan HOTS, diharapkan calon mahasiswa dapat menguasai kemampuan paling dasar sampai level tertentu sebelum mampu mempelajari hal yang spesifik (dalam hal ini memilih program studi) sesuai dengan minat dan kemampuan mereka tanpa membuang waktu untuk “menghafal” yang tidak perlu.

Sayangnya, pendekatan HOTS dalam ujian seleksi masih belum bisa didukung oleh sistem pendidikan kita saat ini yang membuat mahasiswa hanya membuang waktu, tenaga dan materi hanya untuk menghafal tanpa bisa memahami dan mengolahnya untuk kegunaan yang jauh lebih besar. Sementara, coba kita simpan problem satu ini untuk artikel selanjutnya, ya.

Sistem baru ini juga memudahkan calon mahasiswa dalam melatih dan mengembangkan kemampuan dan potensi dasar mereka untuk dapat menjadi mahasiswa (dan kedepannya bekerja dan berkarya) di bidang tertentu dan memperdalam ilmu dan pengetahuan terkait bidang spesifik yang menjadi minat mereka.

Itulah sebabnya calon mahasiswa harus mengerti betul tentang pilihan program studi dan bidang yang diminati karena tidak semua program studi membutuhkan level kemampuan yang sama. Kemampuan yang dibutuhkan untuk menjadi dokter tidaklah sama dengan kemampuan yang dibutuhkan untuk menjadi desainer grafis.

Ada hal yang paling menarik perhatian kita dalam tes seleksi SBMPTN kali ini: yaitu Tes Potensi Skolastik (TPS). Tahu nggak, sih, kalau basically TPS itu adalah modul kemampuan yang bisa kamu ikuti di Youthmanual? Serunya lagi, kamu bahkan bisa membuat perencanaan kuliah secara komprehensif dengan mengenali diri sendiri dan mengidentifikasi kebutuhan apa yang dibutuhkan di bidang yang mereka minati) serta mampu mengembangkan kemampuan tersebut dengan cara yang paling sesuai denganmu.

Maka nikmat perencanaan kuliah mana lagi yang kamu dustakan?

Alas, nggak ada ilmu yang sia-sia. Tapi, ketika calon mahasiswa sudah bisa memetakan apa yang ingin ia pelajari dan kembangkan di masa depan. Karena esensi belajar bukanlah sebatas menghafal, tapi juga mampu memahami suatu persoalan dan mampu menerapkan pengetahuan tersebut untuk memecahkan masalah yang terjadi di sekitarnya.

 

Berubah Nggak Masalah, Asal Dipersiapkan Sejak Dini

Kita mendengar semua suara hati kamu ketika perubahan ini resmi diumumkan, kok. Kita mendengar semua kegirangan dan keluh kesah kamu dengan keputusan ini. Tapi tahu, nggak, ada dua komentar yang paling sering muncul dan paling nggak tahan untuk kita tanggapi?

Pertama:

“Aduh kenapa, sih, angkatanku jadi kelinci percobaan melulu?”

Yaduh, nggak cuma angkatan kamu doang, kali. Setiap tahunnya, semua angkatan adalah kelinci percobaan perubahan sistem. Untuk calon mahasiswa yang tahun depan akan menghadapi perubahan sistem ini, nggak perlu perlu takut dan merasa dirugikan. Karena kali ini kita dengan yakin mengatakan bahwa: we’re moving in the right direction. We’re changing for good.

Sisi positifnya, pemerintah menyadari bahwa sistem pendidikan kita belum menjadi sistem pendidikan yang terbaik dan sesuai dengan karakter penduduknya dan apa yang dibutuhkan bagi kemajuan negara. Pemerintah tidak lelah mencari tahu sistem yang paling sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, dan kali yang semakin baik. Daripada calon mahasiswa terus-terusan menyalahkan pemerintah dengan sistem yang berubah-ubah, akan lebih baik kalau calon mahasiswa mempersiapkan diri dari sekarang dan berpartisipasi dalam proses perubahan ini agar dapat mengkritisi sistem ini dengan lebih objektif.

Dan yang kedua:

“Sekarang susah banget sih mau kuliah.”

Lha, siapa bilang kuliah itu gampang? Makanya nggak sembarang orang bisa jadi mahasiswa. Yang gampang, mah, beli gelar dan ijazah. Beli ilmu dan kemampuan, sih, susah.

Kuliah itu tidaklah sesantai dan semenyenangkan seperti apa yang kamu lihat di layar kaca, gaes. Kalau kamu masih mengeluh karena perubahan sistem seleksi masuk perguruan tinggi (yang malah memudahkan kamu), artinya kamu belum layak untuk mengikuti sistem belajar mengajar yang student-centric. Kamu belum layak untuk mengerjakan tumpukan karya ilmiah. Kamu belum layak untuk begadang menyelesaikan skripsi. Kamu belum layak untuk masuk ke dunia kerja yang jauh lebih keras dengan titel Sarjana.

Keluhan-keluhan kamu ini tentunya nggak harus ada jika kamu bisa mempersiapkan dirimu dengan baik sejak dini. Nggak ribet: cukup dengan menemukan esensi belajar itu sendiri, mencoba untuk tidak mengakali sistem, dan tahu apa yang bisa kamu lakukan di masa depan dengan mengetahui siapa dirimu, dimana kekuatanmu, dan apa tujuanmu di masa depan.

Jadi, nggak seharusnya kamu mengeluhkan perubahan ini. Cukup fokus untuk kendalikan apa yang bisa kamu kendalikan. Karena toh yang dibutuhkan di masa depan adalah anak muda yang mampu beradaptasi dengan kondisi dan perubahan apa pun. Karena toh perubahan ini untuk kebaikan kamu juga.

Akhir kata: kita pun bingung sama kamu yang mengeluh. Merindukan sistem pendidikan Indonesia lebih baik, tapi dihadapkan dengan sedikit perubahan aturan tes, malah marah-marah. Lucu deh kamu. Hihihi.

Semangat menghadapi perubahan!

Baca juga:

POPULAR ARTICLE
LATEST COMMENT
Muhamad Rifki Taufik | 8 jam yang lalu

4 Langkah menulis naskah film yang sangat bagus untuk mengembangkan skill penulisan saya. Terima kasih untuk ilmu yang bermanfaat.

4 Langkah Menulis Naskah Film yang Baik Bagi Pemula
Al havis Fadilla rizal | 1 bulan yang lalu

Open pp/endorse @alfadrii.malik followers 6k minat dm aja bayar seikhlasnya geratis juga gpp

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 2 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 11,6 followers dm ya bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 2 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 1,6 followers dm ya, bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
AtomyFirst Chanel | 2 bulan yang lalu

Open PP @houseofshirly foll 427k @Idea_forhome foll 377k @myhomeidea_ foll 270k. Harga Paket lebih murah. DM kami yaa..

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Dibuat dan dikembangkan di Jakarta, Indonesia Hak Cipta Dilindungi 2015 - 2024 PT Manual Muda Indonesia ©
Rencanamu App

Platform Persiapan Kuliah & Karir No 1