Berani Pakai Baju Bermodel Sama Setiap Hari?

Rata-rata kita sekolah berapa taun, sih? Biasanya, TK dua taun, SD enam taun, SMP dan SMA masing-masing tiga taun. Total jendral 14 taun.

Dan semuanya dilalui dengan se-ra-gam.

Yes, pada umumnya, sekolah di Indonesia mewajibkan baju seragam, sehingga setelah lulus SMA, biasanya kita udah eneg banget sama seragam dan nggak sabar ber-baju-bebas-ria di kampus.

Ketika masih SMA, saya dan teman-teman hobi memodifikasi seragam sekolah kami. Rok abu-abu kami diperketat, belahan roknya ditambah, kemejanya dibuat mengikuti siluet tubuh, dan sengaja nggak pasang badge lambang OSIS di saku.

Tentunya bukan cuma kami yang begini. Hampir semua siswa lain—perempuan maupun laki-laki—juga pada ogah mengikuti aturan standar berseragam sekolah.

Saya udah lama meninggalkan bangku SMA, tetapi kayaknya kecenderungan merombak seragam sekolah ini tetap ada, ya? Malah makin heboh.

Nggak heran, sih, karena ini adalah cara remaja menjadi rebellious dan menunjukkan kepribadian masing-masing. Bayangin, 14 tahun penampilan disamaratakan dengan ratusan siswa lain di sekolah. Kapan, dong, bisa tampil unik (dan kece)?

Tapi dasar manusia, nggak ada puasnya.

Setelah kuliah, believe it or not, saya agak kangen seragam. Dan setelah bertaun-taun ngantor, saya makin kangen.

Dulu, ketika masih sekolah, saya suka penasaran kenapa kita harus berseragam. Salah satu penjelasan yang sering saya dapat adalah agar nggak ada kecemburuan sosial antar murid, juga untuk mencegah murid bergaya aneh-aneh.

Setelah dewasa, saya menyadari bahwa keuntungan seragam yang PALING utama adalah untuk mengeliminasi pilihan.

Jadi gini. Setelah kuliah dan kerja, seberapa sering kita bengong di depan lemari baju, bingung mau pakai baju apa? Saya, sih, sering banget. Bahkan untuk sekedar pergi ke mall sebentar aja. Rasanya nggak pernah punya pilihan baju yang oke.

Bagi kamu-kamu yang masih kuliah, situasi ini akan makin parah ketika kamu ngantor nanti, terutama kalau kamu perempuan. Soalnya, saat kuliah, paling-paling kriteria utama baju ngampus adalah nyaman, ya nggak?

Tetapi ketika ngantor, kita jadi BM—banyak maunya—banget terhadap kriteria baju kerja: bisa mewakili kepribadian, rapih, tapi nggak terlalu formal. On-trend, tapi nggak terlalu nyentrik. Nggak terlalu konservatif, tapi nggak terlalu seksi. Nyaman buat naik motor atau naik bis menuju kantor, tapi juga cukup hangat menahan AC kantor. Ini itu ini itu… lama-lama bisa gila, deh.

Matilda Kahl, seorang art director di sebuah agency periklanan ternama di New York, merasakan hal yang sama. Matilda sering banget pusing mikirin, hari ini ngantor pakai baju apa, ya? Setelah menentukan pilihan pun, pilihannya berasa selalu salah. Pokoknya bikin idup ribet!

Sampai pada suatu hari di tahun 2012, ia memutuskan untuk beli 15 kemeja putih dan beberapa celana hitam. Semua dengan model yang sama. Sejak itu, Matilda setiap hari ngantor mengenakan kemeja putih dan celana hitam bermodel sama.

Setiap hari. Sejak 2012.

Padahal Matilda bekerja di perusahaan kreatif, lho, dimana pegawainya sangat dibebaskan memakai baju apa pun sesuai “kreativitas” masing-masing. Eh, Matilda malah memutuskan untuk pakai “seragam”.

Alasannya?

Karena hidup ini sudah penuh dengan pilihan. We have to make decisions in every minute of our lives, dan hal ini sebenarnya menguras tenaga. Padahal tenaga kita mending dipakai untuk hal-hal yang lebih penting, misalnya untuk fokus bikin keputusan di kampus atau kantor.

Kata Matilda,

“The simple choice of wearing a work uniform has saved me countless wasted hours thinking, "what the hell am I going to wear today?" And in fact, these black trousers and white blouses have become an important daily reminder that frankly, I'm in control.

Today, I not only feel great about what I wear, I don't think about what I wear.”

Setiap saya dan suami pergi ke restoran, suami saya jarang mau baca menu. Dia pasti minta saya milihin makanannya, lalu akan makan apapun yang saya pesan. Dulu saya sebel banget. Menurut saya, gestur ini bikin suami saya terkesan pemalas dan nggak menikmati hidup. “You must have a really unexciting mind,” gitu kata saya.

Namun setelah saya baca tentang Matilda Kahl ini, saya jadi paham bahwa suami saya bukan membosankan atau nggak kreatif, tetapi dia udah pusing bikin keputusan-keputusan penting dalam pekerjaannya, setiap jam, setiap hari. Suami saya nggak mau lagi mikirin ‘mau makan apa’. Yang penting makan. Toh dia nggak pernah complain.

Secara pribadi, I love Matilda’s idea! Saya belum seberani Matilda—memakai baju bermodel dan berwarna sama persis setiap hari—tetapi saya mulai menjalankan “prinsip”nya dengan cuma membeli baju warna netral (hitam, putih, abu-abu, coklat) dengan model-model klasik, supaya nggak terlalu pusing nge-mix and match setiap hari.

Awalnya, Matilda Kahl dianggap gila oleh teman-teman kantornya. Bahkan dikira ikut sekte atau aliran tertentu. Tetapi trus muncul artikel-artikel seperti ini dan ini, yang menerangkan kenapa banyak tokoh sukses bajunya itu-itu melulu.

Misalnya,

Siapa: Mark Zuckerburg, penemu Facebook

Seragam: Kaos abu-abu dan celana jeans

Alasannya? Mark ingin fokus membangun komunitas dunia, sehingga Mark membuat hidupnya sesimpel mungkin, supaya ia nggak perlu bikin terlalu banyak keputusan dalam hidup. Salah satu caranya adalah dengan memakai baju yang itu-itu aja.

Siapa: Barack Obama, presiden Amerika Serikat

Seragam: Setelan jas warna biru tua atau abu-abu

Alasannya? "I don't want to make decisions about what I’m eating or wearing. Because I have too many other decisions to make."

Siapa: Klaus Biesenbach, direktur Museum of Modern Art PS1

Seragam: Setelan jas biru dan kemeja dari Zara

Alasannya? “Being on the road so much and constantly working between different time zones in the last years, I developed a quite minimal clothing style.

… dan masih banyak lagi!

And yes, termasuk almarhum Steve Jobs.

Kerja di bidang kreatif bukan berarti hidup kita nggak boleh simpel. Klaus Bisenback bilang, karena gaya bajunya simpel, ia nggak harus buang waktu mikirin mau pakai baju apa setiap hari. Daaan, kalau travelling, jadi bisa packing lebih cepat!

Sementara kalau kata fotografer Terry Richardson—yang identik dengan kemeja flanel, jeans Levis 501, sepatu Converse dan kacamata aviator Moscot—“seragam” harian juga bisa jadi ciri khas kita, dan pada akhirnya membentuk personal branding. Seperti,

“Eh, liat si Agus nggak?”

“Agus yang mana?”

“Ituuu, yang hobi pake celana loreng dan kaos jaring-jaring!”

Otomatis, Matilda Kahl juga jadi sangat identik dengan bajunya. Sampai-sampai kantornya mengadakan hari “Dress Like Matilda Day” pada 23 April lalu!

Jadi, punya “seragam” atau gaya baju yang itu-itu aja—yay or nay?

(sumber gambar: Fastcompany, Majalah Ouch, Business Insider, ABC News,  Zimbio, Style Blazer, High Snobiety)

POPULAR ARTICLE
LATEST COMMENT
Muhamad Rifki Taufik | 2 jam yang lalu

4 Langkah menulis naskah film yang sangat bagus untuk mengembangkan skill penulisan saya. Terima kasih untuk ilmu yang bermanfaat.

4 Langkah Menulis Naskah Film yang Baik Bagi Pemula
Al havis Fadilla rizal | 1 bulan yang lalu

Open pp/endorse @alfadrii.malik followers 6k minat dm aja bayar seikhlasnya geratis juga gpp

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 2 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 11,6 followers dm ya bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 2 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 1,6 followers dm ya, bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
AtomyFirst Chanel | 2 bulan yang lalu

Open PP @houseofshirly foll 427k @Idea_forhome foll 377k @myhomeidea_ foll 270k. Harga Paket lebih murah. DM kami yaa..

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Dibuat dan dikembangkan di Jakarta, Indonesia Hak Cipta Dilindungi 2015 - 2024 PT Manual Muda Indonesia ©
Rencanamu App

Platform Persiapan Kuliah & Karir No 1