Cerita Lulusan Salah Satu SMA Paling ‘Keras’ di Jakarta, Tentang Pengalaman Tawuran yang Paling Berkesan

Tawuran dan kekerasan memang sering terjadi di kalangan pelajar SMA.

Di Jakarta, salah satu SMA negeri yang paling “galak” dan paling lama ngotot mempertahankan budaya kekerasan mereka adalah SMAN 70. Bukan cuma kekerasan antar sekolah—alias tawuran—tetapi juga kekerasan antar junior dan senior.

Padahal secara akademis dan prestasi, SMAN 70 oke, lho (saya alumnusnya, nih :D). Sayangnya, catatan prestasi SMAN 70 harus tercoreng dengan berbagai insiden kekerasan. Insiden yang paling parah? Tentunya, insiden September 2012.

Pada tanggal 24 September 2012, beberapa siswa SMA 6 diserang dengan membabi buta oleh puluhan siswa SMA 70 di Bundaran Bulungan. Padahal menurut berita, waktu itu sekitar lima orang siswa SMA 6 cuma sedang asyik makan, selesai ujian. "Ada sekitar 20 siswa menyerang, ada yang bawa arit," kata Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan kala itu, Kombes Pol Hermawan, bercerita kepada wartawan, seperti dikutip di merdeka.com

Malang bagi Alawy Yusianto Putra, salah satu siswa SMA 6 yang pada saat itu ada di lokasi kejadian, karena dia terjatuh. Akibatnya, dia menjadi bulan-bulanan siswa SMA 70… sampai meninggal!

Polisi segera melacak dan menangkap pelaku pembunuh Alawy, yakni Fitra Rahmadani, alias Doyok. Dia pun masuk penjara.

Suasana pemakanan Alawy

Huft.

Almamater saya tersebut memang sering tawuran dan melakukan kekerasan, tetapi baru sekali ini saya mendengar, sampai ada korban jiwa.

Konon katanya, sejak itu, pengamanan dan aturan SMAN 70 menjadi amat, sangat ketat banget. Sanksi bagi siswa pelaku kekerasan dijalankan dengan tegas, guru pengawas dan CCTV pun ada dimana-mana. Malah konon, beberapa ekskul sampai dibubarkan karena dianggap bisa jadi “sarang cikal bakal” kekerasan. Termasuk ekskul saya dulu! Hiks!

Anyway, saat saya masih SMA, saya sama sekali nggak pernah terlibat tawuran. Nggak pernah nonton tawuran, nggak pernah mendukung tawuran, dan nggak pernah punya pacar yang suka ikut tawuran. Meski saya nggak terang-terangan menyatakan anti-tawuran ke teman-teman saya, saya sama sekali nggak peduli sama yang namanya tawuran.

(Jangan salah, siswi SMAN 70 ada aja, lho, yang mendukung tawuran para siswanya. Dukungannya pun dengan berbagai cara).

Tetapi gara-gara insiden September 2012 tersebut, saya jadi penasaran.

Akhirnya, saya ngajak ngobrol dua teman saya, sesama alumni SMAN 70, yang dulu—seperti mayoritas siswa laki-laki SMAN 70—sempat terlibat tawuran. Walau dulu pernah “bandel”, sekarang, sih, mereka sudah jadi bapak-bapak, hihihi. Sudah berkarier hebat, serta punya keluarga dan anak-anak yang unyu.

Saya bertanya ke mereka, apa, sih, cerita tawuran mereka yang paling teringat sampai sekarang?

Reza*, alumni SMAN 70 Jakarta, angkatan 2002:

“Kalau ditanya pengalaman tawuran yang paling berkesan, mungkin sewaktu gue kelas 1 SMA.

Waktu itu, gue dan teman-teman lagi nongkrong di Mendawai rame-rame. Trus, tau-tau ada [senior] anak kelas 3 datang ke tongkrongan kita. Mereka bilang mereka lagi bosan, dan nyuruh kita untuk “patrol”, alias pergi nyari “musuh”. Kita nggak boleh cuma jagain sekolah, nunggu diserang sekolah lain.

Maka gue dan temen gue, Amir*, langsung inisiatif pergi ke halte CSW buat nyari-nyari “musuh”.

Kita jalan dengan santai ke halte, karena kita memang sudah  emang udah beberapa kali “patrol” seperti ini. Ketika sudah lumayan dekat dengan halte, kita melihat ada satu orang anak SMA lain lagi nongkrong di halte. Kita mikir, wah pas banget, nih, kalau cuma satu orang aja, pas banget buat dikerjain. Maksudnya, dikerjain dimintain rokok, dikolekin (dipalak, atau dimintain uang dengan paksa), atau diusir, supaya dia manggil teman-temannya dan kita bisa tawuran.

Setelah kita makin dekat, tiba-tiba terlihat satu orang lagi di sampingnya, yang sebelumnya nggak kelihatan. Kita masih berpikir, kalau cuma dua orang, masih bisa lah kita hadapi.

Begitu jarak antara kita sudah makin dekat, sekitar tiga meteran, kita baru bisa lihat bahwa ternyata jumlah mereka lumayan banyak. Ada sekitar 10 orang! Mereka duduk berjejer ke samping, sehingga memang nggak terlihat banyak kalau dilihat dari samping.

Karena sudah terlanjur dekat dan merasa gengsi untuk putar balik, kita tetap mendekat, lalu menggertak dan minta mereka pergi dari halte.

Bukannya takut, mereka malah mendekat dan berusaha menangkap kita, bukan mencoba mukulin kita. Waktu itu Amir tertangkap oleh mereka, tapi gue berhasil lolos dan masih menggertak mereka untuk ngelepasin Amir. Tapi salah satu dari mereka malah mengeluarkan parang dan lari ke arah gue.

Gue langsung balik badan, lari ke perempatan Bulungan, dan teriak manggil teman-teman gue dan para senior kelas tiga yang masih nongkrong di Mendawai.

Kita segera balik lagi ke arah halte dan nyerang gerombolan anak SMA tersebut. Mereka kaget melihat kita cepat sekali balik lagi, dengan jumlah yang lumayan banyak pula, sekitar 20 orang. Amir berhasil meloloskan diri ketika mereka lagi panik. Selanjutnya sih, ya, kita tawuran seperti biasa sampai akhirnya mereka kabur semua.

Selesai tawuran, kita segera menghampiri Amir untuk menanyakan apakah dia baik-baik saja, dan apa yang anak-anak SMA tadi lakukan, ketika menyandera Amir. Untungnya Amir nggak apa-apa, walaupun dia sempat beberapa kali dipukuli.

Ini adalah tawuran yang paling berkesan buat gue, karena gue yang memulai tawurannya. Trus, ada teman gue yang sempat jadi sandera. Gue sendiri nyaris ditusuk parang, dan nyaris jadi sandera juga. Entah gimana jadinya kalau gue waktu itu juga ketangkap, dan nggak ada yang bisa manggil teman-teman kita sebagai bala bantuan.

Semenjak itu, gue masih tetep ikut tawuran, tapi gue membatasi peran gue hanya sebatas ikut-ikutan saja. Gue nggak pernah lagi bertarung di paling depan, apalagi jadi yang memulai tawurannya.

Selama SMA, gue belum pernah bermasalah dengan guru terkait dengan tawuran.

Kalau dengan senior, gue pernah bermasalah, yaitu ketika masa-masa nyokap gue sering jemput pulang sekolah, sehingga gue susah untuk ikut tawuran. Tapi “masalah” dengan senior itu hanya sebatas gue diejek-ejek aja, kok, karena mereka pun paham bahwa kalau kita dijemput orangtua, kita nggak bisa berbuat apa-apa juga.

Beda kasusnya kalau misalnya ada anak yang berada di sekolah saat tawuran terjadi, tapi nggak ikutan tawuran. Pada saat nongkrong berikutnya, mereka pasti dikerjain senior.

Alasan anak SMA tawuran itu ada banyak banget. Yang bisa gue pikirin ada beberapa:

1. Karena disuruh senior. Ini alasan gue banget waktu baru masuk SMA.
2. Karena peer pressure. Ini alasan gue banget juga.
3. Supaya bisa menunjukkan kehebatan dan eksistensi mereka
4. Karena bosan dan tidak bisa mengekspresikan diri di kegiatan yang lain
5. Karena peraturan sekolah yang longgar. Gue ngebayangin, kalau anak-anak yang tawuran langsung diskorsing atau bahkan dikeluarkan semua, pasti efek jeranya luar biasa.

Di sisi lain, kalau SMA gue dulu nggak mempertahankan tradisi tawuran, menurut gue, SMA gue akan dijajah oleh sekolah lain.

Lokasi SMA gue ‘kan pas banget dilewati oleh beberapa bus umum, sehingga bisa dengan mudah ditongkrongin oleh anak-anak SMA lain yang mau ngegodain cewek-cewek SMA gue, atau bahkan malakin anak-anak SMA gue.

Itulah kenapa selalu ada yang jagain tongkrongan SMA gue, dan kalau pulang sekolah, anak-anaknya selalu berombongan. Nggak sendiri-sendiri. Kalau satu orang digangguin, otomatis teman-temannya akan membantu, walaupun ujung-ujungnya akan mudah berubah menjadi tawuran.

Untuk menghindari tawuran di SMA gue, yang bisa terpikir oleh gue saat ini ada beberapa:

1. Jangan boleh ada bus umum yang lewat persis di depan sekolah
2. Sekuriti ditambah secara signifikan
3. Ada sanksi yang keras buat siswa yang terlibat tawuran
4. Kegiatan eskul lebih disorot dan diberi guru pembimbing khusus yang terus memandu kegiatan-kegiatannya, sehingga bisa terasa ada persaingan antar eskul dan bisa menumbuhkan rasa eksistensi pesertanya. Sehingga fokus dan energi siswa bisa teralihkan ke ekskul, bukan ke tawuran.”

Alvin*, alumni SMAN 70 Jakarta, angkatan 2002:

“Pengalaman tawuran yang paling berkesan bagi gue adalah waktu gue kelas 3 SMA. Waktu itu, gue dan teman-teman kelas tiga lainnya sedang main bola di lapangan sekolah, sekitar jam empat sore. Tiba-tiba, di depan sekolah udah rame orang teriak-teriak “Tubir..! Tubir...!” (tubir = ribut = tawuran).
Setelah dengar itu, larilah semua anak laki-laki keluar sekolah.

Ternyata dari arah lampu merah Bulungan, banyak anak STM—kalau nggak salah STM Penerbangan—jalan ke arah sekolah. Gue nggak tahu persisnya ada berapa orang, cuma katanya rombongan mereka ada sekitar enam bis. Jadi mungkin sekitar 100 orang. Sedangkan anak-anak SMA gue lagi nggak seberapa banyak, karena sebagian besar sudah pulang.

Akhirnya terjadilah tawuran. Tawurannya nggak lama, sekitar 10-15 menit terjadi lempar-lemparan batu, botol, dan sebagainya. Soalnya, anak-anak SMA 70 pada akhirnya mundur sampai masuk sekolah, karena pihak “musuh” ada banyak banget, bahkan gue lihat banyak dari mereka yang bawa senjata tajam. Beberapa teman gue ada yang kena lempar batu, ada juga yang jatuh pas lari, sehingga “tertangkap” dan digebukin anak-anak STM itu.

Satu hal yang paling gue inget banget adalah, setelah anak-anak STM itu pergi, ada teman ngomong ke gue, “Eh, gue kena tusuk nih”. Tapi gue lihat dia biasa-biasa aja. Nggak terlihat ada yang luka.

Trus, gue tanya, “Apanya yang ketusuk? Kok kelihatannya elo nggak apa-apa?” Kebetulan waktu itu, dia pakai tas backpack dengan posisi menutupi sisi badannya. Setelah gue tanya begitu, dia angkat tasnya, dan gue lihat pinggang belakangnya sudah berdarah, sampai seragam sekolahnya berwarna merah total. Basah kuyup dengan darah!

Langsung gue papah dia ke ruang PMR sekolah. Untungnya, dia nggak sampai luka parah atau meninggal.

Dulu, gue nggak punya alasan khusus kenapa ikut tawuran. Seru-seruan aja, sih. Mungkin karena gue masih muda, belum berpikir panjang. Kalau dibilang karena tekanan senior, nggak juga.

Menurut gue, sih, senior nggak bisa benar-benar memaksa juniornya ikut tawuran. Kalau kita [juniornya] nggak mau ikut, senior mau apa? Buktinya, dari satu angkatan gue yang jumlahnya kurang lebih 400an siswa, yang rutin ikut tawuran nggak sampai 40 orang.”

*bukan nama sebenarnya

(sumber gambar: expressioners.wordpress.com, republika.co.id, aktual.com, tempo.co)

POPULAR ARTICLE
LATEST COMMENT
syakila putri | 13 hari yang lalu

terimakasih atas informasinya. kunjungi website kami untuk informasi lebih lanjut https://unair.ac.id/

Bedah Peluang, Daya Tampung, serta Biaya Kuliah Jurusan Kedokteran dan Kedokteran Gigi Terbaik di Perguruan Tinggi Negeri
Muhamad Rifki Taufik | 23 hari yang lalu

4 Langkah menulis naskah film yang sangat bagus untuk mengembangkan skill penulisan saya. Terima kasih untuk ilmu yang bermanfaat.

4 Langkah Menulis Naskah Film yang Baik Bagi Pemula
Al havis Fadilla rizal | 2 bulan yang lalu

Open pp/endorse @alfadrii.malik followers 6k minat dm aja bayar seikhlasnya geratis juga gpp

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 2 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 11,6 followers dm ya bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 2 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 1,6 followers dm ya, bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Dibuat dan dikembangkan di Jakarta, Indonesia Hak Cipta Dilindungi 2015 - 2024 PT Manual Muda Indonesia ©
Rencanamu App

Platform Persiapan Kuliah & Karir No 1