10 Hal yang Saya Alami Sebagai Mahasiswa Rantau di Bali

Oleh Rizki A. Pradana

Merantau demi kuliah sebenarnya suka bikin jiper. Gimana nggak jiper? Kita jadi jauh dari orang tua, harus tinggal sendirian, harus mandiri menghadapi tantangan kuliah, dan harus hidup bareng orang-orang yang kultur dan bahasanya bisa berbeda 180 derajat dengan kita.

Saya sendiri dulu merantau dari Jakarta ke Denpasar, Bali, demi berkuliah di Universitas Udayana, sebuah kampus yang dipenuhi oleh mahasiswa asal Bali, Jawa Timur, NTB, NTT, dan sekelumit orang Jakarta seperti saya.

bali youthmanual

“Wah, kuliah di Bali? Seru banget, dong, serasa liburan tiap hari!”

Sejujurnya, Udayana bukanlah kampus pilihan pertama saya, dan Bali juga bukan destinasi liburan favorit saya. Tapi akhirnya saya betah juga, sampai-sampai saya nggak pulang ke Jakarta selama 11 tahun *langsung ketauan tuanya*.

Selama tinggal di Pulau Dewata ini, saya belajar banyak hal (di luar kampus) yang nggak mungkin akan saya pahami kalau nggak pernah tinggal di Bali. Berikut adalah 10 efek tinggal di Bali bagi saya. Bagi yang pernah (atau masih) merantau ke Bali, pasti mengalami ini juga!

Bisa Bahasa Bali (Sedikit-Sedikit)

Ya iyalah, ya. Namanya juga tinggal di daerah baru yang bahasanya berbeda dengan mother tongue saya. Kalau nggak berusaha memahami bahasa Bali, saya bakal bengong melulu pas nongkrong bareng teman-teman. Tips buat sesama anak rantau: untuk mempelajari bahasa setempat, nggak perlu les, kok. Lewat pergaulan, lama-lama kamu akan bisa sendiri. Biasanya, nih, anak mahasiswa pasti hafalnya kata-kata jorok dulu (ehem), lalu frase-frase sederhana (apa kabar, mau kemana, dll), trus angka dan nama-nama benda. Ini, nih, salah satu keuntungan jadi mahasiswa rantau—jadi bisa belajar bahasa baru tanpa les!

Bisa Bawa Motor

bali youthmanual

Di Bali, semua orang—laki-laki ataupun perempuan—sudah bisa bawa motor sejak SMA, soalnya kendaraan umum di Bali terbatas banget! Wajar, dong, kalau orang Bali kemana-mana naik motor, termasuk para mahasiswanya. Sebelum kuliah di Bali, saya nggak bisa bawa motor, dan “terpaksa” belajar sejak tinggal di Bali. Yah, daripada tekor karena musti carter angkot melulu dan malu sama teman-teman cewek yang pada bisa bawa motor?

Fasih Jadi Guide Setempat

Saya selalu bangga setiap ngajak jalan-jalan teman-teman dari kampung halaman yang sedang liburan ke Bali. Sejak tinggal di Bali, otomatis saya jadi lebih paham sama pulau ini dan tahu tempat-tempat nongkrong happening yang belum mainstream. Maka saat nge-guide teman yang lagi liburan ke Bali, saya bisa pamer pengetahuan tentang pulau ini. Semakin mereka kagum, semakin bangga rasanya. Soalnya kalo IPK saya nggak bisa dibanggain! Jeblok melulu!

Tahu Tempat Makan Mana yang Halal dan Haram

bali youthmanual

Nasi Pedes Bu Andika, salah satu warung halal terkenal di Bali

Nggak hanya tahu tentang hip places, sejak tinggal di Bali, pengetahuan saya tentang tempat-tempat makan yang halal di Bali juga jadi meluas. Ini pengetahuan krusial, lho, terutama kalau kita punya pantangan makanan seperti saya yang Muslim. Dulu, sewaktu melepas saya kuliah di Bali, orang tua saya paling takut kalau saya susah menemukan tempat makan halal. Padahal ternyata, sih, banyak. Apalagi di sekitar kampus. Meski tempat makannya nggak mencantumkan logo halal, nama-nama “halal”nya bisa ketahuan, kok: Barokah, Aisyah, Sederhana, dan sebagainya.

Jadi Tahu Cara Nunjukkin Jalan Dengan Arah Mata Angin

Skill ini patut saya banggakan, karena sewaktu SD, walaupun sudah enam tahun latihan Pramuka, saya nggak hafal-hafal arah mata angin. Pasalnya, orang Bali terbiasa ngasih arah jalan dengan patokan arah mata angin. Misalnya, mereka nggak akan bilang, “Jalan lurus, lalu ke kiri,” tetapi, “Jalan lurus, lalu ke Barat.” Orang Bali kadang malah bingung membedakan kiri dengan kanan, karena lebih bisa ngebedain Barat dengan Timur. Setelah tinggal di Bali sekian lama dan mulai hafal jalanan setempat, saya pun mulai bisa memberi arahan yang sama. Keren, ‘kan?

Ngerasa Keganggu Sama Turis-turis Jakarta

Maaf-maaf aja, nih, tapi turis Jakarta emang suka ngeselin. Mereka biasanya jalan bergerombol, berbaju trendi nan seksi (berhubung sehari-hari di Jakarta susah pake pake baju begitu), pakai kacamata hitam yang agak besar, full make-up (padahal mau main di pantai), foto-foto terus, dan ngomongnya teriak-teriak. Satu hal lagi, setiap long weekend, kegiatan warga Bali pasti jadi terganggu karena jalanan mendadak macet, saking banyaknya turis Jakarta “weekend getaway” ke Bali. Malesss.

Jarang Main ke Kuta

youthmanual bali

Mungkin umumnya orang mengira kalau tinggal di Bali, pasti berarti sering main ke pantai. Nggak juga, tuh. Kalaupun warga Bali main ke pantai, yang pasti nggak akan ke pantai Kuta. Soalnya Kuta udah terlalu komersil, penuh sesak dengan rombongan turis lokal yang entah kenapa hobi berenang pakai baju lengkap—se-celana jeans dan se-jilbab-jilbabnya nyemplung!—atau bule kere yang udah mabok dari siang. Bali punya puluhan pantai, bro, nggak cuma Kuta dan sekitarnya. Apalagi pantai-pantai yang tersembunyi lebih seru untuk dijelajahi.

Bisa Surfing

bali youthmanual

Ngarepnya, sih, begitu. Tetapi walaupun udah 11 tahun tinggal di Bali, saya tetap nggak bisa meliuk-liuk di atas ombak macam Kelly Slater. Paling banter berdiri kaku 10 detik. Begitu aja udah girang. Beberapa teman kuliah yang sesama anak rantau sempat mendalami surfing dengan serius, sampai pasang frame papan selancar segala di motornya. Mumpung kuliah di Bali, bro! Mana ada, sih, mahasiswa yang bisa langsung njebur ke pantai yang jaraknya cuman lima menit dari kampus setelah UTS?

Paham Arti Toleransi

bali youthmanual

Toleransi antar suku dan agama di Bali nggak ada duanya, deh. Warga Bali benar-benar memegang teguh prinsip “agamaku agamaku, agamamu agamamu” di dalam hati mereka, nggak sekedar diomongin di mulut atau ditulis di spanduk. Pola pikir seperti ini membuat orang-orang Bali lebih toleran, sabar, dan berprasangka baik. Bulan puasa warung babi guling tetap buka siang-siang? Umat Islamnya biasa aja. Tiap subuh ada adzan keras-keras? Umat Hindunya juga nggak protes. Bahkan yang menjaga keamanan sholat Jumat atau misa Minggu pun pecalang (polisi adat Bali), lho.

Nggak Mau Pulang Kampung

Entah karena saya kelamaan menetap di Bali atau karena pesona pulau ini terlalu manis untuk dilupakan (pisss!), ketika saya memutuskan untuk pulang ke Jakarta dua tahun lalu, hal itu menjadi salah satu keputusan terberat dalam hidup saya. Kalau ada kesempatan untuk balik ke Bali lagi, saya nggak akan pikir dua kali: I’ll be back for sure!

(sumber foto: Moshlab, Metro Sulawesi, Kementrian Agama, Phil Hill Photography, Flickr/Greg Pedder, Timothy Daely)

POPULAR ARTICLE
LATEST COMMENT
Muhamad Rifki Taufik | 19 jam yang lalu

4 Langkah menulis naskah film yang sangat bagus untuk mengembangkan skill penulisan saya. Terima kasih untuk ilmu yang bermanfaat.

4 Langkah Menulis Naskah Film yang Baik Bagi Pemula
Al havis Fadilla rizal | 1 bulan yang lalu

Open pp/endorse @alfadrii.malik followers 6k minat dm aja bayar seikhlasnya geratis juga gpp

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 2 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 11,6 followers dm ya bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 2 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 1,6 followers dm ya, bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
AtomyFirst Chanel | 2 bulan yang lalu

Open PP @houseofshirly foll 427k @Idea_forhome foll 377k @myhomeidea_ foll 270k. Harga Paket lebih murah. DM kami yaa..

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Dibuat dan dikembangkan di Jakarta, Indonesia Hak Cipta Dilindungi 2015 - 2024 PT Manual Muda Indonesia ©
Rencanamu App

Platform Persiapan Kuliah & Karir No 1