Cerita Saya Soal Gencet-Gencetan di Sekolah

Waktu saya masih sekolah dulu, gencet-gencetan antara kakak dengan adik kelas lumrah terjadi. Eeeh, ternyata, salah satu adik kelas saya yang “disebelin” akhirnya malah jadi teman seangkatan di kampus, lalu kolega sekaligus bos saya di kantor. Nah, lho!

Saya cerita dari awal, ya. Waktu SMP, saya punya adik kelas setahun di bawah saya. Kita sebut aja namanya Ayu. Nggak jelas juga, sih, kenapa dulu teman-teman seangkatan saya—termasuk saya sendiri—sebal sama Ayu dan gengnya. Saya nggak pernah ikutan ngelabrak atau ngegencet mereka, tapi saya juga nggak pernah ramah. Boro-boro ramah, kepengen kenal aja enggak. Di mata saya, mereka pada kecentilan, manja, dan rese’. Males, ah!

Ketika SMA, saya semakin yakin bahwa adik kelas dan kakak kelas memang sudah kodratnya nggak berteman. Bagi saya, kakak-kakak kelas pasti nyebelin, sementara para adik kelas pada nggak penting. Pokoknya angkatan sendiri aja yang paling bener! Pemikiran feodal banget, ya?

Sewaktu kelas 1 SMA, saya dan teman-teman pernah jadi target gencet kakak kelas 2 dan 3. Bukannya takut dan nurut, geng kami malah jadi solid dan mendadak famous. Trus, saya juga percaya dengan teori relativitas berlawanan, yaitu semakin kita disebelin sama kakak kelas cewek, berarti kita semakin disukain sama kakak kelas cowok. Asiiiik! #eaaa

bully youthmanual

Beginilah saya dan geng saya dulu... dulu waktu suka halusinasi, maksudnya!

Suatu kali saya pernah dikeroyok dan dilabrak sekelompok kakak kelas. Alasannya? Karena salah satu dari mereka merasa saya nggak pernah senyum ke dia. Nggak penting banget, ‘kan? Setelah itu, saya makin nggak respek sama senior yang hobi ngegencet. Sebaliknya, para senior makin gerah dengan saya dan teman-teman yang dinilai tambah nyolot.

Alhasil, hubungan antara angkatan saya dengan angkatan atas tambah renggang, lebih renggang daripada gigi yang belum dibehelin.

***

Karena pernah merasakan jadi target gencet, saya dan teman-teman pun berjanji nggak mau mengulang kenorakan yang sama (baca: hobi menggencet adik kelas). Malah ada yang bertekad mau menjalin persatuan kesatuan serta keakraban sama anak-anak baru.

Tapi setelah jadi kakak kelas, “tekad mulia” kami untuk nggak mem-bully pelan-pelan goyah. Soalnya (di mata kami) ada aja kelakukan adik kelas yang bikin gateeelllll, pengen ngegaruk!  

Sampai akhirnya teman-teman saya memutuskan memanggil salah seorang adik kelas. Yang dipanggil satu orang, sementara kami ber…. 20 lah, kira-kira, hihihi. Lagi-lagi, saya nggak terlalu paham apa yang bikin anak ini disebelin, selain mungkin karena dia cakep (yes, hukum rimbanya, semakin kamu kece, semakin besar kemungkinan kamu disebelin kakak kelas, zzzzz…).

Katanya, sih, anak baru ini—sebut aja namanya Vina—menjelek-jelekkan kami ke ke alumni, padahal si Vina ini belum pernah kami apa-apain. Kzl, kan? Saat teman-teman mengintrogasi do’i, saya nimbrung aja, sekadar biar nggak ketinggalan keriaan. Kemudian Vina ditanya, siapa orang di angkatan kita yang menurut dia jutek bin galak? Dengan takut-takut, Vina menyebutkan nama… SAYA.

HAH? APAH?! Saya ‘kan baik dan lembut banget anaknya! Dengerinnya aja lagu Afgan, mak! Cuma faktor muka saya aja yang galak-genic! Hffftt!

Saking kesalnya, saya jadi kepikiran buat beneran gencet dia, tapi dicegah oleh seorang teman yang lumayan bijak. Menurut teman saya itu, gencet-gencetan nggak penting, apapun alasannya. Dia juga bilang kalau menggencet adik kelas cuma bakal bikin adik kelas tersebut makin beken. Argumen yang terakhir itu lah yang akhirnya bikin saya mengurungkan niat menggencet.

***

Setelah lulus SMA, nggak disangka saya mengulang tes masuk universitas. Alhasil, saya jadi seangkatan dengan para adik kelas dan malah sekampus dengan beberapa dari mereka… termasuk si Ayu!

Dan ya ampuuuun, mereka ternyata MENYENANGKAN BANGET! Bahkan Ayu—adik kelas yang dulu saya anggap kecentilan, manja, dan rese’ itu—menjadi salah satu teman pertama saya di kampus. Ternyata the real Ayu itu smart, asik, dan sama sekali nggak manja, centil ataupun rese’. Berarti selama bertahun-tahun ini saya su’udzon, gaes! Ckckck…

And guess what? Pas kerja, Ayu malah jadi kolega sekaligus atasan saya. Untuuuung aja dulu saya nggak ngegencet si bos satu ini. Hehehe…

Semasa kuliah, apakah saya masih terlibat urusan gencet-menggencet? Oho, tentu tidak. Udah insap, gan. Saya nggak pernah lagi jutek-jutekan sama angkatan lain. Palingan galaknya pas lagi Ospek, itu pun hanya akting belaka, kok. Suwer!

Susah juga, sih, menghilangkan kebiasaan menjaga jarak antara senior-junior. Awalnya, saya masih segan dan kaku untuk main bareng senior dan junior. Tapi lama-lama, saya mulai bisa membaur, meskipun belum bisa seakrab sama angkatan sendiri.

***

Working is a whole different game. Di dunia kerja, batasan antara senior dengan junior jadi nge-blur. Mungkin banget, lho, kakak atau adik kelas kita di sekolah jadi rekan kerja di kantor. Bahkan mungkin aja adik kelas kita jadi atasan kita, atau sebaliknya, seperti yang terjadi dengan saya dan Ayu.

Saya sendiri jadi akrab banget sama beberapa mantan adik kelas yang kemudian sekantor sama saya. Sebaliknya, saya juga sempat kerja bareng salah satu mantan kakak kelas “rese” yang pas SMA pernah menggencet saya. Meski awalnya sempat awkward, ternyata dia aslinya baik dan seorang rekan kerja yang menyenangkan. Tuh, kan!

Untungnya sejarah gencet-menggencet saya nggak terlalu kelam, soalnya saya yakin, "karma" itu ada. Bayangin kalau dulu saya ngegencet adik kelas dengan sadis, trus ternyata orang yang saya gencet jadi bos saya. Gawat, ‘kan? Atau kalau pas lagi wawancara kerja, ternyata HR-nya pernah saya bully. Karir saya bisa kelar sebelum dimulai, gaeesss…!

Belum lagi kalau kakak atau adik kelas yang dulu pernah bermasalah dengan saya kemudian jadi klien yang mesti dikejar-kejar. Atau yang lebih parah, kalau adik kelas yang dulu pernah didamprat abis-abisan adalah calon adek ipar! Beuh, rencana kewong bisa bubar jalan!

youthmanual

Kayak di film You Again (2010), cewek yang pernah di-bully ternyata calon ipar. Oemjiii!

Saya bersyukur karena saya (kayaknya) nggak pernah memperlakukan atau diperlakukan dengan sadis sama angkatan lain, apalagi sampai main fisik atau culik-culikan. Nggak usah mikirin bertahun-tahun ke depan, deh. Kalau sampai diperkarain ke polisi gimana? Yang tadinya sekedar gencet-gencetan, berubah jadi kasus kriminal. Hiiiii!

***

Saya bersyukur nggak pernah melakukan bullying parah.

Tapi saya juga menyesal.

Menyesal karena sempat mikir bahwa gencet-gencetan itu wajar. Menyesal karena beranggapan kalau senior itu (pasti selalu) menyebalkan dan junior (pasti selalu) lebih menyebalkan lagi. Menyesal pernah berpikiran kalau senior layak dinyolotin dan junior pantas disinisin. Kalau dulu saya nggak begitu, pasti….

* Saya akan punya lebih banyak teman.

* Saya bakal lebih cepat nyadar bahwa main bareng senior dan junior itu sebenarnya seru.

* Saya mungkin akan punya lebih banyak koneksi dan kesempatan, karena banyak senior dan junior saya sekarang jadi orang-orang hebat.

* Di sekolah, saya nggak perlu jaim sama junior dan gengsi sama senior, karena mereka adalah teman saya juga.

* Saat lagi nggak bareng teman seangkatan, saya bisa leluasa nongkrong bareng junior.

* Saya bakal dapat lebih banyak undangan dan ajakan ke berbagai acara, misalnya acara sweet seventeen junior atau senior.

* Lebih dihargai junior, karena ngegencet itu NGGAK bikin junior respek. Mungkin bikin takut dikit, tapi yang pasti, sih, bikin sebel!

Ngapain, ya, dulu saya ikut-ikutan gencet-gencetan?

(sumber gambar: Wisegeek, Fanpop, Naruhudo)

POPULAR ARTICLE
LATEST COMMENT
syakila putri | 11 hari yang lalu

terimakasih atas informasinya. kunjungi website kami untuk informasi lebih lanjut https://unair.ac.id/

Bedah Peluang, Daya Tampung, serta Biaya Kuliah Jurusan Kedokteran dan Kedokteran Gigi Terbaik di Perguruan Tinggi Negeri
Muhamad Rifki Taufik | 22 hari yang lalu

4 Langkah menulis naskah film yang sangat bagus untuk mengembangkan skill penulisan saya. Terima kasih untuk ilmu yang bermanfaat.

4 Langkah Menulis Naskah Film yang Baik Bagi Pemula
Al havis Fadilla rizal | 2 bulan yang lalu

Open pp/endorse @alfadrii.malik followers 6k minat dm aja bayar seikhlasnya geratis juga gpp

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 2 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 11,6 followers dm ya bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 2 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 1,6 followers dm ya, bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Dibuat dan dikembangkan di Jakarta, Indonesia Hak Cipta Dilindungi 2015 - 2024 PT Manual Muda Indonesia ©
Rencanamu App

Platform Persiapan Kuliah & Karir No 1