Aneka Komentar Ini Merupakan Body-Shaming, lho! Apakah Kamu Melakukannya?

Sering dengar soal body-shaming? Ternyata, mungkin kita adalah pelakunya, baik disadari ataupun tidak. Simpelnya pengertian body-shaming adalah memberikan kritik, komentar, atau reaksi negatif mengenai seseorang, baik orang lain maupun diri sendiri. Jangan-jangan, kita yang merasa baik hati dan tidak sombong ini juga melakukan body shaming, lho. Untuk memastikannya, cek apakah kamu pernah berkomentar seperti ini:

1. “Udah mukanya pas-pasan, kelakuan begitu.” “Kelakukan sama penampilan sama parahnya, hahaha…” “Hobi bully adik kelas karena sirik tuh. Nggak cakep, sih!”  “Oh, koruptor, toh? Pantesan mukanya serem.”

Komentar ini merupakan reaksi terhadap orang yang berbuat sesuatu yang buruk, kayak kakak kelas bully atau netizen/tokoh yang berulah. Kasus kayak begini seriiiiiiiing banget kejadian. Nggak setuju sama sikap seseorang, tapi melibatkan faktor fisik yang sebenarnya nggak ada hubungannya. Let say, soal korupsi. Pastinya, kamu menentang dong, yang namanya tindakan korupsi dan mendukung hukuman tegas bagi koruptor. Tapi masa’ iya harus dengan menghujat secara personal? Mencelanya soal fisik pula yang nggak nyambung degan kejahatan yang dilakukan.

Apakah dengan body-shaming begitu kamu merasa sudah melawan korupsi atau mengatasi bully? Atau sebenarnya yang kamu lakukan juga bentuk lain bullying?  Coba deh, gaes, pikirkan dulu sebelum mengekspresikan pendapat. Jangan sampai jadi salah arah.

Tapi kan, orangnya “jahat”?

Ya, tunjukkin aja bahwa kamu lebih baik dari dia/mereka dengan nggak memberikan komentar yang “jahat” juga.

Yang bisa kamu lakukan adalah fokus mengkritik tindakan yang salah, bukan pada orangnya. Misalnya, kamu tegas menolak bullying dan nggak berani menyatakan ketidaksetujuan kamu saat ada aktivitas atau perilaku di sekolah/kampus yang mengarah pada bullying. Tapi, kamu nggak perlu “menyerang” si pelaku secara personal, apalagi balas menggencet dan body-shaming. Yha, sama aja, dongs!    

2. “Muka gue aneh banget, tembem!” “Pinggul gue gede banget, sih.” “Gue jelek banget, nggak kayak dia.”

Jangan salah, body-shaming nggak hanya dilakukan sama orang lain, tapi juga diri sendiri. Selain bikin nggak pede, body-shaming juga menunjukkan bahwa kamu nggak bersyukur. Lagipula, apa yang diharapkan, sih? Apakah kita pengen membuat diri termotivasi dengan menyebutkan hal-hal negatif mengenai fisik diri sendiri?  Kayak kalau bilang diri sendiri gendut 10 kali sehari di depan kaca bisa tiba-tiba langsingan atau terinspirasi buat hidup sehat? I don’t think so.

Berdasarkan pengalaman, body-shaming bukan solusi dan bukan cara terbaik untuk memotivasi diri. Menilai buruk fisik diri sendiri justru bisa bikin frustasi dan semakin membanding-bandingkan dengan orang lain. Orientasi kita pun jadi condong ke hal-hal fisik. Misalnya, memikirkan berlebihan mengenai tubuh kita yang nggak proporsional atau bad hair day, di saat ada hal penting lainnya untuk diperhatikan, seperti masalah yang dihadapi orang terdekatmu atau mengembangkan potensi diri.

Ketimbang mencela muka yang lagi jerawatan atau merasa badan kegemukan, mendingan rajinin dulu aja bersihin muka dan membiasakan makan nggak berlebihan, yegak?   

Walaupun berpotensi bikin down (dan banyak side effects lainnya), body-shaming diri sendiri ini sering banget dilakukan. Waktu saya remaja dulu (aelahhh), saya sering frustasi membandingkan antara diri sendiri dengan sosok yang terlihat perfect di halaman majalah, runway, televisi, atau sekarang Instagram/medsos. Dan pemikiran seperti ini mubazir. Menguras energi dan emosi untuk hal yang sebenarnya nggak penting, gaes. Lagipula gaes, visual sempurna biasanya udah melalui proses editing, filtering, choosing (yup, 1 foto kece di antara ratusan foto yang kurang oke), dan lainnya.

tindakan body shaming

3. “Hai, apa kabar? Makin gendut aja itu badan?” “Ternyata, alismu itu aneh ya, hahaha…” Kok, jadi kerempeng banget, sih? Diet, ya?”

Please, perkaya deh, khazanah basa-basi dan obrolan kita. Mungkin kadang “spontan” keceplosan aja, kali, ya. Makanya, biasakan untuk nggak fokus pada aspek fisik dan berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara.

4. “Kamu nggak cocok banget pakai celana itu. Lihat tuh, betis atau guling? Gede amat!” “Perut lo saingan sama perut bokap gue, bro!”, “Ngapain pakai lipstik kayak gitu. Bibir kamu tuh memble-nya jadi tambah parah.”, “Diet dong, badan kamu udah gembrot banget!”

Hey, I’m just being honest! Begitu, argumen kita.

Hmm… mungkin ada yang nggak bisa membedakan antara bicara jujur dengan bicara SEMAUNYA. Yang nomor dua ini berbahaya, karena potensi untuk menyakiti orang lain bakal gede banget.

Ya, tapi kan aku apa adanya? Oke, sebelum kamu mengeluarkan segala “ke-apa-adaan-nya” tersebut, coba cek hal-hal ini.

a. Apakah orang tersebut bertanya komentar kamu?

b. Apakah komentar kamu penting dan perlu didengar yang bersangkutan demi kebaikan dirinya?

c. Kalau jawaban poin a atau poin b adalah 'YA', maka kamu boleh berkomentar, dengan syarat….

d. Dilakukan secara privat, nggak di depan banyak orang atau kasih komen di medsos.

e. Perhatikan kata-kata yang diucapkan. Hindari celaan. Misalnya, si teman kelihatan kurus dan nggak proporsional ketika pakai atasan model tertentu. Trus, ia menanyakan komentarmu. Daripada mengatakan:

“Ih, lo keliatan kerempeng banget.” Lebih baik fokus ke masalah dan solusi, seperti.

“Menururku, atasan model kayak begitu kurang cocok sama proporsi tubuh kamu. Gimana kalau ditambah outerwear?”

Paham bedanya, kan?

Memang sih, kadang faktor kedekatan mempengaruhi gaya kita berbicara. Semakin akrab biasanya semakin bebas. Tapi nggak perlu juga lah, membiasakan body-shaming. Banyak lho, orang yang diam-diam down karena ucapan sahabatnya atau keluarganya.

e. Terakhir, kamu harus ingat bahwa pendapat kamu nggak mutlak, belum tentu benar, bisa saja subjektif, dan nggak semua orang mikir hal yang sama. Mungkin aja kamu berpendapat bahwa dengan lipstik warna itu bibir temen kamu kelihatan memble. Tapi bagi banyak orang, malah kelihatan kece. Jadi ingat, kamu tidak selalu benar.

5. “Apa kabar lo, ‘ndut? Pipi lo makin mumbul kayak es kepal!”

Ada lagi nih, tipe orang yang suka bercanda dan menunjukkan keakraban dengan mencela soal fisik. Walaupun nggak ada niat buruk, hal kayak begini juga nggak bisa dibenarkan dan menyebalkan.

So, coba cari materi jokes yang lain, okay?

6. “Lihat deh, muka si anu, jerawat semua isinya. Nggak pernah bersihin muka, sih.”

Meskipun kamu nggak langsung ngomong ke yang bersangkutan, tapi komentar model begini juga termasuk ke dalam body-shaming. Selain itu, kamu pun udah ngomongin orang lain. Salah dua kali, ‘kan?

Apalagi kalau tindakan body-shaming-nya jadi naik “level”.

Berawal dari sekadar komentar di belakang, trus hobi ngetawain orang tersebut diam-diam hingga akhirnya bahan ledekan. Kemudian, rame-rame menjauhi orang tersebut, hanya gara-gara fisik. Kalau sudah begini, masalah pun akan lebih gawat. Jika melakukannya atau ikut-ikutan, harusnya kita yang malu dengan diri sendiri.

(sumber gambar: augustmaclaughlin.com. kailashafoundation.org) 

POPULAR ARTICLE
LATEST COMMENT
Allysa Kamalia Putri | 2 bulan yang lalu

ka mau tanya kalo dari smk keehatan apa bisa ngambil kedokteran hewan?

Mengenal Lebih Dekat Dengan Program Studi Kedokteran Hewan
Nina Syawalina | 2 bulan yang lalu

Kak, ada ga univ yang punya jurusan khusus baking and pastry aja?

5 Program Studi yang Cocok Buat Kamu yang Suka Makanan
AVERILIO RAHARJA | 3 bulan yang lalu

semangat terusss https://sosiologi.fish.unesa.ac.id/

5 Jurusan yang Diremehkan, Tetapi, Memiliki Prospek Kerja yang Bagus
Averilio Raharja | 3 bulan yang lalu

semoga selalu bermanfaat kontennya https://sosiologi.fish.unesa.ac.id/

5 Jurusan yang Diremehkan, Tetapi, Memiliki Prospek Kerja yang Bagus
Dibuat dan dikembangkan di Jakarta, Indonesia Hak Cipta Dilindungi 2015 - 2024 PT Manual Muda Indonesia ©
Rencanamu App

Platform Persiapan Kuliah & Karir No 1