Kalau Semester Depan PR Dihapuskan, Kamu Setuju Nggak?

Beberapa bulan lalu, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi membuat gebrakan baru. Beliau melarang guru memberikan pekerjaan rumah (PR) untuk siswa-siswa sekolah di Purwakarta! Wah, apa alasannya?

Kata beliau, selama ini PR yang diberikan kepada siswa umumnya berupa materi akademis, serupa dengan pekerjaan di sekolah. Padahal materi akademis seperti itu sebaiknya dituntaskan di sekolah aja, jangan dijadikan pekerjaan rumah, karena akan jadi beban bagi siswa setelah pulang sekolah.

Pak Dedi juga bilang, PR seharusnya berbentuk terapan ilmu, supaya siswa lebih kreatif. Sebagai contoh, kalau ada siswa yang suka sepak bola, coba, deh, suruh dia analisa, aturan tendangan 12 pas benar nggak jaraknya 12 meter? Jadi, selain bentuknya terapan, topiknya pun bisa dibuat kreatif dan custom dengan minat siswa. Wih, kayak motor aja, ya, bisa di-custom!

Ternyata kebijakan ini direspon positif oleh Kemendikbud, Pak Muhadjir Effendy. Lewat beberapa media pada Oktober lalu, Pak Muhadjir bilang berencana ingin menghapuskan PR dan LKS, walaupun prakteknya belum jelas kapan—katanya, sih, akan mulai berlaku semester depan—dan bagaimana.

Ck ck ck, Pak Muhadjir ternyata senang menghapus ya, gaes! Hehehe.

Seperti penghapusan Ujian Nasional (baca selengkapnya di sini, ya!), penghapusan PR ini tentu menimbulkan pro-kontra. Nggak semua guru dan murid setuju, lho, dengan penghapusan PR. Apa alasannya? Youthmanual mengajak ngobrol beberapa murid SMA di Jakarta, untuk cari tahu pendapat mereka. Yuk, simak!

PR dihapuskan – setuju atau nggak?

Hayfa Putricamperniq,  Sekretaris OSIS SMA Lazuardi Global Islamic School, Depok
Kelas XI

Nggak setuju.

"Buatku, mungkin PR jangan dihapuskan, tetapi jumlahnya lebih disesuaikan aja. Dijatahin, lah. Dalam sehari, PRnya jangan terlalu banyak, tapi jangan terlalu sedikit juga.

Soalnya PR tetap penting, sih, untuk latihan soal-soal, terutama untuk persiapan ujian. Supaya murid punya gambaran untuk ujian, daripada kaget pas ujian nanti?

Belajar sendiri [untuk ujian] kayaknya nggak cukup. Aku merasa tetap perlu ada arahan dan latihan soal dari guru [dalam bentuk PR]"

Gilang Fajri, Ketua OSIS SMA Lazuardi Global Islamic School, Depok
Kelas XI

Setuju.

"Kalau tugas dan latihan soal bisa dikerjakan saat belajar di sekolah, kenapa nggak? Jadi di rumah kita bisa benar-benar istirahat, santai-santai, baca-baca atau review materi, trus istirahat lagi.

Jadi tetap belajar, tetapi pace-nya sesuai diri murid masing-masing. Kalau ada PR atau tugas ‘kan di rumah kita jadi harus putar otak lagi. Ada deadline pula, sehingga jadi ada tekanan untuk murid."

Gilang, kiri, Hayfa, kanan

Dhani Rizqi Pratama, siswa SMA Al-Azhar 2, Pejaten, Jakarta
Kelas XI

Nggak setuju.

"Kalau PR dihapuskan, saya ada setujunya, ada nggak setujunya, Setujunya karena kita jadi bisa punya banyak waktu istirahat, dan jadi bisa fokus spend time sama keluarga di rumah.

Nggak setujunya karena, kalau untuk diri saya pribadi, PR berguna sebagai panduan atau kisi-kisi belajar. Kalau nggak ada PR, kita jadi nggak punya kisi-kisi buat belajar, khususnya untuk ujian.

Jadi saya lebih memilih tetap ada PR, tapi jumlahnya jangan bertumpuk."

Humaira Najla Desdmonda, siswa SMA Al-Azhar 2, Pejaten, Jakarta
Kelas 12

Nggak setuju.

"Malam hari, aku biasanya memang belajar. Tapi kalau ada PR, aku jadi bisa lebih mendalami pelajarannya. Maka kalau disuruh memilih, aku pilih tetap ada PR, tapi jangan banyak-banyak.

Misalnya, dalam satu hari, seorang siswa nggak boleh mendapatkan PR lebih dari 2 atau 3. Sekarang ini, setiap guru mata pelajaran pasti memberikan PR atau tugas setiap hari."

Hilma Fatharani, siswa Al-Azhar 2, Pejaten, Jakarta
Kelas XI

Nggak setuju.

"Aku juga nggak setuju kalau PR dihapuskan, tetapi dibatasi saja.

Pulang sekolah memang lebih enak main dan santai-santai aja, sih. Cuma kalau ada PR, kita jadi lebih terpicu untuk belajar. Dan kadang materi pelajaran yang ada di PR atau tugas itu suka muncul di ulangan, jadi cukup membantu.

Cuma, ya itu. Dalam sehari, jangan terlalu numpuk."

Dimas Adi Nugraha, siswa SMA Al-Azhar 2, Pejaten, Jakarta
Kelas XI

Setuju.

"Mendingan nggak ada PR. Soalnya rumah saya jauh dari sekolah! Hehehe. Jadi sampai rumah suka udah larut, dan berangkatnya juga harus pagi banget.

Lagipula lebih baik nggak ada PR, daripada ada PR tapi ujung-ujungnya dikerjainnya dengan cara nyontek atau nanya teman juga! Kayaknya di semua sekolah, pasti banyak, deh, murid yang datang pagi-pagi demi untuk nyalin PR dari teman dulu."

Dari kiri ke kanan: Dimas, Dhani, Monda, Hilma

Jendra, Ketua OSIS SMA Al-Azhar 2, Pejaten, Jakarta
Kelas XI

Setuju.

"Sebenernya saya setuju dengan teman-teman. Kalau nggak ada PR, mungkin di rumah saya jadi nggak belajar sama sekali. Tapi di sisi lain, saya mendengar sekolah-sekolah di negara dengan pendidikan terbaik—seperti Finlandia—nggak memberikan PR. Jadi saya bimbang.

Saya kurang suka PR tertulis. Saya lebih suka tugas praktek. Tapi mungkin beberapa pelajaran susah juga, ya, diberikan PR tugas praktek. Susah juga ‘kan latihan Matematika, kalau tugasnya praktek terus?

Tapi bagi saya… mendingan PR dihapus, deh. Buat saya, waktu selama sekolah lebih baik benar-benar dimanfaatkan untuk belajar, dan waktu di rumah dimaksimalkan untuk keluarga.

Jadi, guru di sekolah harus bisa membuat muridnya benar-benar mengerti materi pelajaran selama di sekolah, agar murid nggak perlu “mendalami”nya lewat PR lagi."

Harish Makarim, mantan ketua OSIS SMAN 34, Jakarta (periode 2015-2016)
Kelas XII

Nggak setuju.

"Aku nggak setuju kalau PR benar-benar dihapus sama sekali. Kalau dikurangi, aku lebih setuju.

Mungkin kalau kita liat sekolah-sekolah di negara yang pendidikannya maju—seperti Finlandia—mereka nggak memberikan PR. Mereka bahkan berpendapat bahwa sekolah 5-6 jam saja sudah cukup untuk pembelajaran, supaya mereka punya cukup waktu untuk keluarga dan mengeksplorasi hal-hal lain di luar sekolah.

Konsep itu memang bagus, tapi kayaknya cuma bisa dilakukan di negara-negara maju, karena di sana situasinya kondusif, lingkungannya baik, dan ada banyak sarana untuk anak-anak muda mengeksplorasi hal-hal baru.

Sedangkan di Indonesia, lingkungannya belum mendukung dan belum kondusif. Yang ada, kalau anak-anaknya nggak dikasih PR, mereka nanti malah nongkrong, ke warnet, dan menghabiskan waktu untuk hal-hal yang nggak positif.

Kalau PR dikurangi, menurutku masih OK. Tapi idealnya, musti ada penyediaan fasilitas dari pemerintah. Misalnya berupa sanggar belajar, atau pembangunan gelanggang olahraga. Tujuannya supaya sepulang sekolah, anak-anak muda nggak berkeliaran dan melakukan hal-hal negatif. Kalau ada fasilitas dari pemerintah, mereka bisa melakukan hal-hal positif aja.

Selama negara kita belum kondusif dan pemerintah nggak bisa maksimal memberikan fasilitas untuk anak muda, menurutku Indonesia belum bisa menghapuskan PR.

Lagian kayaknya orang Indonesia itu harus dipaksa dulu, baru mau mengerjakan sesuatu. Jadi kalau nggak ada PR, jangan-jangan siswa nggak akan buka buku pelajaran sama sekali di luar sekolah.

Menurutku, juga PR bisa jadi pembiasaan untuk kuliah nanti. Karena kuliah ‘kan bakal lebih berat dan sibuk. Jadi supaya anak-anak sekolah nggak kaget pas udah jadi mahasiswa."

Kesimpulannya…

Meski kita belum tahu jelas, apakah penghapusan PR benar-benar akan berjalan, dan bagaimana prakteknya, ternyata nggak semua siswa setuju.

Dari hasil pembicaraan Youthmanual dengan teman-teman SMA di Jakarta, bisa disimpulkan bahwa PR sebenarnya berfaedah, kok. Bahkan bisa berfaedah banget, ASALKAN jumlahnya nggak bertumpuk.

Jadi, setiap hari guru harus saling berkoordinasi, berapa banyak PR yang sudah mereka berikan ke para siswa. Lagipula, kalau jumlah PR terlalu banyak, siswa bakal mereka bakal “asal mengerjakan, yang penting selesai”. Jadi mereka nggak bisa  benar-benar menyerapi materinya.

Kamu setuju nggak PR dihapuskan? Kalau setuju, gimana cara memastikan siswa tetap akan belajar di rumah? Kalau nggak setuju, menurut kamu, bagaimana bentuk PR yang ideal? Apakah PR harus berbentuk terapan, seperti kata Pak Dedi? Atau yang sekarang sudah ideal? Tulis opini kamu di bawah, ya!

(sumber gambar: hai-online.com, Laila Achmad, Iyank)

POPULAR ARTICLE
LATEST COMMENT
syakila putri | 1 bulan yang lalu

terimakasih atas informasinya. kunjungi website kami untuk informasi lebih lanjut https://unair.ac.id/

Bedah Peluang, Daya Tampung, serta Biaya Kuliah Jurusan Kedokteran dan Kedokteran Gigi Terbaik di Perguruan Tinggi Negeri
Muhamad Rifki Taufik | 1 bulan yang lalu

4 Langkah menulis naskah film yang sangat bagus untuk mengembangkan skill penulisan saya. Terima kasih untuk ilmu yang bermanfaat.

4 Langkah Menulis Naskah Film yang Baik Bagi Pemula
Al havis Fadilla rizal | 2 bulan yang lalu

Open pp/endorse @alfadrii.malik followers 6k minat dm aja bayar seikhlasnya geratis juga gpp

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 3 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 11,6 followers dm ya bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 3 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 1,6 followers dm ya, bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Dibuat dan dikembangkan di Jakarta, Indonesia Hak Cipta Dilindungi 2015 - 2024 PT Manual Muda Indonesia ©
Rencanamu App

Platform Persiapan Kuliah & Karir No 1