Kemampuan Multitasking Nggak Patut Kamu Banggakan, Karena Ternyata Merusak Otak!
- Mar 11, 2016
- Youthmanual
Joni sedang mengerjakan tugas paper mata kuliah Teori Komunikasi. Baru ngetik tiga paragraf, Joni berhenti karena kehabisan ide. Lantas Joni mengambil ponselnya, trus membuka Instagram untuk ngecek akun jualan sneakers-nya. Nggak lama setelah mem-posting satu item for sale terbarunya, dua pesan masuk ke WhatsApp Joni.
Belum sempat membuka pesan baru tersebut, Joni melihat-lihat notifikasi dari sejumlah groupchat. Ia mendapati namanya disebut di WhatsApp grup kepanitiaan Ospek, maka masuklah ia ke sana, menanggapi becandaan teman-temannya sebelum akhirnya sang ketua panitia mengingatkan Joni untuk membuat desain poster publikasi. Sambil membaca group chat tersebut, Joni mengambil buku kuliahnya sambil memikirkan ideuntuk desain poster tadi.
Lima menit setelah semua itu terjadi, Joni optimis bahwa semua tugasnya bisa diselesaikan bersamaan malam itu juga. Namun, di menit keenam, Joni melepaskan semua benda di tangannya lalu mengempaskan badannya ke kasur, “PUSIIIIING!!!” begitu katanya.
Otak Kamu Bukan Browser Yang Bisa Membuka Banyak Tab Sekaligus
Joni—dan kamu semua—perlu tahu, otak manusia itu nggak dirancang untuk multitasking. Kamu bisa aja, sih, menyuruh otak mengerjakan berbagai macam hal dalam satu waktu, asal kamu siap menerima konsekuensinya: kerja bakal jadi lambat, dan cenderung nggak memberikan hasil yang maksimal.
Ahli syaraf dari Massachusetts Institute of Technology, Earl Miller, bilang kalau otak, tuh, nggak bisa multitask dengan baik. “Saat ber-multitasking, kita hanya memindah-mindahkan atensi dari satu tugas ke tugas lainnya secara cepat. Dan tiap kali melakukan hal itu, kita menghabiskan tenaga.”
Walaupun kamu multitasking-nya sambil melakukan hal sepele—seperti mem-post foto di Instagram atau membalas pesan di WhatsApp—jika konstan dilakukan, hal tersebut jadi menurunkan daya otak. Menyelesaikan tugas kecil membuat tubuh menghasilkan hormon dopamin—hormon yang bikin kita senang—ke otak. Dengan kata lain, kita senang berpindah-pindah dari pekerjaan kecil ke pekerjaan kecil lainnya demi mendapat kepuasan instan.
Trus, emangnya kenapa? Bahaya? Bahaya, dong. Dengan ber-multitasking mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kecil begitu, kamu jadi merasa seakan-akan sudah menyelesaikan banyak tugas, padahal nyatanya, kerjaan kamu belum ada satupun yang benar-benar beres. Sekilas, Joni memang tampak produktif banget—ngurusin online shop-nya sambil ngerjain tugas sambil aktif di kepanitiaan. Tetapi apakah ada satu tugas yang akhirnya Joni selesaikan saat itu? Nggak.
Multitasking Memicu Stres
Ketika lagi ada banyak pikiran numpuk di kepala, kamu akan susah mengorganisasi dan mengatur pikiran-pikiran tersebut. Bahkan kamu juga jadi sering sulit menentukan, mana yang perlu diprioritaskan. Rasanya semuanya kepengen didahulukan.
Alhasil, para multitasker pasti sering merasa kusut. Hal ini terjadi karena multitasking meningkatkan produksi kortisol, hormon pemicu stres. Kalau otak terus-terusan pindah dari satu kerjaan ke kerjaan lainnya, kamu jadi gampang capek secara mental.
Multitasking Itu Kayak Makan Vetsin. Enak dan Nagih, Tapi Merusak otak!
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh University of London menunjukkan bahwa multitasking bisa menurunkan IQ, mirip kayak efek begadang semalaman atau bahkan efek terkontaminasi mariyuana. IQ bisa drop 10 poin! Bahkan pada laki-laki, bisa drop sampai 15 poin, Jon!
Univesity of Sussex di Inggris pernah melakukan penelitian dengan MRI scan. Mereka memantau kondisi otak orang yang menggunakan banyak perangkat dalam satu waktu. Hasilnya, otak si multitasker tersebut ternyata jadi kekurangan kandungan anterior cingulated cortex, yang bertanggung jawab terhadap emosi.
Intinya? Multitasking bukanlah skill yang patut kamu banggakan, tetapi justru kebiasaan jelek yang harus dihentikan. Matiin, deh, notifications di ponsel kamu, cek email sesekali aja (jangan nge-refresh Inbox terus-terusan!), dan fokuslah kepada pekerjaan yang sedang kamu lakukan.
Multitasking Bisa Dilakukan, Sih, Asalkan…
Multitasking bisa aja dilakukan, tapi kamu harus punya daya dan energi ekstra. Pertama, daya untuk mengorganisasi pikiran. Kedua, daya untuk mengerjakan semua hal yang mau kamu kerjakan. Ketiga, waktu. Percayalah, mengerjakan banyak hal, tuh, nggak mungkin dilakukan dalam satu waktu. Joni perlu mengurai dulu pikirannya. Menentukan tugas mana yang paling perlu diprioritaskan, membuat daftar urutan kerja, lalu fokus mengerjakannya. Nah, ujung-ujungnya harus ngerjain satu persatu juga ‘kan?
Percayalah, kemampuan ber-multitasking itu nggak patut kamu banggakan, apalagi sampai ditaro di CV.
(sumber gambar: Linkedin.com, cake.hr)
Kategori
gimana? udh wisuda?
Ciri-Ciri Proposal Skripsi yang Baik dan Berkualitas (dan Nggak Bakal Bikin Kamu Dibantai Dosen Penguji)ka mau tanya kalo dari smk keehatan apa bisa ngambil kedokteran hewan?
Mengenal Lebih Dekat Dengan Program Studi Kedokteran HewanKak, ada ga univ yang punya jurusan khusus baking and pastry aja?
5 Program Studi yang Cocok Buat Kamu yang Suka Makanansemangat terusss https://sosiologi.fish.unesa.ac.id/
5 Jurusan yang Diremehkan, Tetapi, Memiliki Prospek Kerja yang Bagussemoga selalu bermanfaat kontennya https://sosiologi.fish.unesa.ac.id/
5 Jurusan yang Diremehkan, Tetapi, Memiliki Prospek Kerja yang Bagus