Cerita Si Krimi, Mahasiswa Bertabur “Prestasi” Akademik Dengan Segala Kecurangannya

Kali ini, saya mau bahas drama lagi. Tapi, kali ini drama datang dari dunia akademik, yang tentunya rada juicy. Ahay.

Berhubung hal ini baru banget viral, ada baiknya kalau kamu nyimak sendiri dramanya, deh, yah. Kuy disimak dulu kultwit dibawah ini.

12345

TL;DR, kultwit ini menceritakan Krimi (nama samaran, of course), eks-mahasiswa Universitas Indonesia yang di-DO sejak tahun pertama kuliah karena ketahuan mencurangi ujian selama 2 semester berturut-turut. The drama starts when Krimi tetiba ngaku-ngaku jadi exchange student dari Universitas Indonesia di tahun kedua, dan magically berhasil menamatkan kuliahnya di Peguruan Tinggi di negara tetangga. Jadi mahasiswa teladan, lagi.

Lucunya, cerita ini “dijahit” oleh sedemikian rupa oleh Krimi sampai-sampai nggak ada celah untuk membuktikan hal itu adalah kebohongan. Sampai pada akhirnya pihak Universitas di negeri seberang mempertanyakan keabsahan dokumen kelulusan Krimi dari UI yang ternyata sudah direkayasa sedemikian rupa. Nggak cuma itu, Krimi juga mendukung cerita kelulusannya di media sosialdengan mengunggah foto wisudanya (bareng orangtua!) di UI yang ternyata juga hasil rekayasa… dan minjem toga orang lain.

Waks.

Ya nggak salah, sih, kalau si empunya kultwit (yang ternyata adalah Dosen Fakultas Si Krimi sebelum di-DO) sampai bilang cerita Si Krimi ini macem nonton film Catch Me if You Can. Niat banget, gitu, tipu-tipunya. Yegak?

***

Kalau dilihat jauh ke belakang, sebenernya kasus Si Krimi ini bukanlah hal yang baru.

Mungkin kamu masih inget sama Afi Nihaya, remaja SMA yang sempet viral karena tulisan-tulisannya yang thought-provoking dan inspiratif, tapi belakangan ketahuan kalau tulisannya adalah hasil copy-paste karya orang lain. Atau deretan prestasi-prestasi “halu” Dwi Hartanto selama menimba ilmu di luar negeri.

Perhatiin, deh—apa yang dilakukan Afi, Dwi, dan Si Krimi ini memiliki pola yang sama: berbohong untuk membuat parallel universe yang terlihat lebih keren dibanding yang sebenanya, dan diri mereka jauh lebih menarik di mata orang lain. Yang artinya, seakan-akan mereka butuh pengakuan dari orang lain bahwa mereka adalah remarkable individuals yang pantas untuk dipuji.

Tapi, apakah hal yang diinginkan oleh Afi, Dwi, dan Si Krimi ini adalah hal yang salah?

I don’t think so.

Kita semua lahir dan tumbuh besar di lingkungan yang menghargai pecapaian, menertawakan kegagalan, dan meremehkan ketiadaan. Ketika melakukan sesuatu, probabilitas berhasil dan gagalnya sih fifty-fifty. Berhubung konsekuensi gagal dan nggak ngapa-ngapain sama asemnya, jalan keluarnya cuma satu: yang nggak ada diada-adain.

Gila sih, ya, dipuji itu emang bikin nagih. Candu. Bikin hati kremet-kremet gimanaaa gitu. Nggak heran sampai ada istilah “haus pujian”.

But hey, nothing last forever, right? Rasa “haus” ini muncul ketika euforia pujian itu memudar. Di sisi lain, membuat suatu pencapaian demi penghargaan bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Akibat tengsin kalau nggak ngapa-ngapain, ya jadinya yang nggak ada pun diada-adain, alias making fraud.

Mungkin ini yang menjadi alasan Si Krimi untuk menciptakan kebohongan demi kebohongan dengan entengnya, rela melakukan apa pun untuk meyakinkan dirinya sendiri dan dunia, dan bahkan tidak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun ketika dia tertangkap basah melakukan kecurangan saat berusaha mewujudkan dunia halu-nya menjadi nyata.

Lihat aja dedikasi Si Krimi ketika dia memalsukan transkrip nilainya sedemikian rupa, kerja kerasnya mengedit foto wisuda sampai bawa-bawa orangtua segala, atau ngeles bajajnya membawa pulang lembar jawaban ujian dan membuatnya seakan-akan itu adalah kesalahan teknis. Pas tercyduk aja katanya masih bisa kalem. Temen-temennya juga nggak nyangka kalau anaknya ternyata semanipulatif itu, karena Si Krimi ternyata “berlindung” di balik topeng kebaikan dan kesupelannya. Bayangin betapa manipulatifnya Si Krimi ini demi bisa mencapai kehidupan impiannya seperti sekarang.

Duile, mantep bener skenarionya. Belajar scriptwriting dimana sik.

Dari sudut pandang saya, Si Krimi jelas terlihat seperti seorang pembohong patologis. Iya, saya tahu saya bukan psikolog, tapi kalau netizen memiliki kewenangan untuk menjadi seorang armchair detective, saya juga boleh ikutan, dong.

…Yaudah, daripada protesin diagnosa saya, masih ada hal yang jauh lebih greget untuk kita ambil hikmahnya dari kasus Si Krimi ini.

Lihat bagaimana si empunya kultwit menyinggung-nyinggung soal bagaimana kepintaran nggak akan ada artinya tanpa integritas, which I totally agree.

Dalam dunia pendidikan, terutama pendidikan tinggi, kecurangan akademis adalah “dosa” terbesar yang bisa kamu lakukan. Kalau ketahuan nyontek di sekolah dasar, sih, paling banter ya ditegur. Atau nggak tempat dudukmu digeser sampai ke depan meja guru.

Beda cerita kalau kamu sampai ketahuan nyontek atau melakukan kecurangan lainnya ketika di bangku kuliah. Kamu harus siap menanggung hukuman berupa skorsing sampai di“lulus”kan lebih awal… dengan tidak terhormat.

In case kamu belum tahu, esensi dari pendidikan tinggi nggak hanya memperkaya pengalaman akademik seseorang, tapi juga kematangan pola pikir mereka sebagai kaum intelektual. Mau IPK kamu sempurna atau pengalaman berorganisasimu menumpuk, semua nggak ada gunanya jika kamu meraihnya dengan cara yang tidak jujur.

Mengejar IPK tinggi emang nggak mudah, tapi memoles karakter itu jauh lebih sulit. Kalau satu “Krimi” di dunia aja udah cukup merugikan banyak pihak, bayangin horornya jika “Krimi-Krimi” lain beranak-pinak dan menciptakan jutaan ragam fraud sampai akhir hayatnya. Yakin hal itu bisa diatasi cuma dengan meluluskan mereka dengan angka mutu jadi 4.0? Dipikir para koruptor pada nggak sekolah tinggi semua apa yak?

Duh, pokoknya jangan sampai citra pendidikan tinggi di Indonesia bergeser menjadi sebatas orientasi nilai di atas kertas, deh. Toh ya kalau nanti pas ngelamar kerja yang ditanya pertama kali bukan IPK-mu, kok. Nyatanya, di dunia kerja, karakter selalu mengalahkan talenta.

Warren Buffet pernah bilang, “Honesty is a very expensive gift, don't expect it from cheap people.” Mari camkan kata-kata ini tiap kali “Si Krimi” yang ada dalam hatimu berbisik untuk keterusan melakukan kecurangan demi menuai pujian yang nggak seberapa.

Kenapa?

Ya malu, lah, yaw, kalau sampai nggak jujur cuma demi pengakuan. Murahan.

(sumber gambar: chirpstory.com)

POPULAR ARTICLE
LATEST COMMENT
syakila putri | 27 hari yang lalu

terimakasih atas informasinya. kunjungi website kami untuk informasi lebih lanjut https://unair.ac.id/

Bedah Peluang, Daya Tampung, serta Biaya Kuliah Jurusan Kedokteran dan Kedokteran Gigi Terbaik di Perguruan Tinggi Negeri
Muhamad Rifki Taufik | 1 bulan yang lalu

4 Langkah menulis naskah film yang sangat bagus untuk mengembangkan skill penulisan saya. Terima kasih untuk ilmu yang bermanfaat.

4 Langkah Menulis Naskah Film yang Baik Bagi Pemula
Al havis Fadilla rizal | 2 bulan yang lalu

Open pp/endorse @alfadrii.malik followers 6k minat dm aja bayar seikhlasnya geratis juga gpp

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 3 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 11,6 followers dm ya bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 3 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 1,6 followers dm ya, bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Dibuat dan dikembangkan di Jakarta, Indonesia Hak Cipta Dilindungi 2015 - 2024 PT Manual Muda Indonesia ©
Rencanamu App

Platform Persiapan Kuliah & Karir No 1