Pro-Kontra: Skripsi atau Non-Skripsi?
- Sep 22, 2015
- Fatimah Ibtisam
Mungkin kamu pernah dengar urban legend tentang proses pembuatan skripsi yang mengerikan itu. Bikin susah tidur, susah makan, susah pacaran, susah hidup, dan yang paling parah, susah lulus. Kasian, ya? Tapi saya nggak ngalamin semua itu, tuh! *jumawa*
Soalnyaaa... saya memang lulus nggak pakai skripsi! Apaaa?!
Yup, memang ada beberapa jurusan—seperti di sini—yang fleksibel. Mahasiswanya bisa lulus dengan menyusun skripsi ATAU cukup dengan mengambil mata kuliah sampai memenuhi kuota 144 SKS. Jadi kamu bisa kuliah aja terus, sampai tau-tau SKS-nya cukup.
Ada juga beberapa jurusan yang menawarkan jalur magang dan ujian komprehensif sebagai alternatif syarat kelulusan.
Tapi perlu diingat, nggak semua jurusan menawarkan jalur ini.
Banyak, lho, pro dan kontra tentang jalur non-skripsi. Saya juga sempet galau dan mengalami pergulatan batin (UFC kali, gulaaat…) ketika harus menentukan pilihan mau skripsi atau nggak, apalagi waktu menemukan anggapan-anggapan yang kontra non-skripsi, seperti:
1. Nggak bisa melanjutkan pendidikan S2 dan apply beasiswa
Katanya, sih, kalau mau lanjut S2, skripsi S1 menjadi keharusan. Apalagi kalau ngincer beasiswa.
Well, mungkin ada jurusan atau scholarship foundation yang mensyaratkan skripsi. Tapi dari pengalaman pribadi saya, nggak ngaruh, tuh! Saya dan teman-teman yang menempuh jalur non-skripsi nggak terhambat untuk nerusin studi ke pascasarjana. Malah, salah satu teman saya yang non-skripsi ada yang sukses mendapatkan beasiswa full untuk program Master di luar negeri.
2. Susah dapat kerja
“Kalau nggak skripsi, nanti susah dapat kerja, lho,” katanya. Wah, sepanjang pengalaman saya ngelamar anak orang kerja dan berkarir, saya nggak pernah, tuh, nemu lowongan pekerjaan atau staf HR yang minta lampiran skripsi.
Jadi menurut saya, pandangan ini bisa dibantah.
3. Nggak merasakan menjadi mahasiswa seutuhnya
Ada yang bilang, kuliah tanpa skripsi itu kayak makan gorengan tanpa cabe rawit. Kurang greget, bro! Tapi ada juga yang nggak beranggapan begitu. Intinya, subyektif dan debatable, lah.
Dengan pergi ke kampus, belajar di kelas, ikut unit kegiatan mahasiswa pleus nongkrong bareng mahasiswa lain, saya cukup merasa jadi mahasiswa seutuhnya, tuh. Ihiiiy.
4. Lulus tanpa karya
Yes, skripsi memang sebuah karya yang patut dibanggakan. Yaeyalah, ngerjainnya aja pake perjuangan. Apalagi kalau skripsi kita bisa bermanfaat untuk orang banyak atau berhasil mendapatkan suatu penghargaan. Makanya, skripsi itu harus dikerjakan dengan niat, jangan asal-asalan. Soalnya, semakin baik skripsi kita, semakin baik juga “jejak” yang kita tinggalkan di kampus.
Dan yang pasti, jangan plagiat!
Nah, kalau kita nggak punya skripsi, apakah berarti kita nggak bisa punya “jejak karya” di kampus?
Bukan. Artinya, mahasiswa non-skripsi punya tantangan baru: how to leave your mark at campus. Mungkin dengan ikutan membela tim olahraga fakultas di kompetisi? Menggelar sebuah acara kampus? Bikin paper yang keren banget sampai masuk jurnal ilmiah? Atau menyusun bundel catatan mata kuliah untuk di-copy dan diturunkan ke anak-cucu junior? Bisa juga ‘kan...
5. Kesulitan bikin tesis
Sebenarnya, skripsi dan tesis beda, lho. Bisa dibilang, tesis lebih rumit.
Tapi keduanya sama-sama karya tulis akademis yang butuh riset, sehingga saya setuju bahwa pengalaman menyusun skripsi adalah salah satu bekal menggarap tesis.
Berdasarkan pengalaman pribadi, saya rada kewalahan ngadepin tesis karena nggak punya pengalaman membuat skripsi. Perlu waktu dan usaha ekstra untuk ngejar ketertinggalan pengetahuan mereka yang pernah skripsi.
Etapi ada aja, lho, orang yang nggak pernah nyusun skripsi, tapi bisa nuntasin tesis dengan cemerlang. Yang penting usaha, sob!
***
Terlepas dari beberapa low points-nya, saya akhirnya tetap mantap memilih jalur non-skripsi karena beberapa poin pro non-skripsi, yaitu:
1. Nggak ada hal menarik yang ingin diangkat.
Ini alasan yang personal banget: saya nggak menemukan topik yang ingin diulik. Menurut saya, menggarap skripsi butuh passion. Daripada maksa menggarap topik skripsi dengan setengah hati, mendingan nggak usah sekalian.
Lagi-lagi, saya bisa mengatasnamakan passion begini karena di jurusan saya ada pilihan non-skripsi. Tapi kalau jurusan kamu mewajibkan skripsi, saran saya, cari terus sampai menemukan topik yang sreg di hati.
2. Pengganti skripsi lebih seru
Sebaliknya, saya ngeliat alternatif pengganti skripsi yang tersedia jauuuh lebih menarik, yaitu ikut berbagai kelas yang seru. Makin mantap, lah, saya di jalur indie. Eh, non-skripsi.
Heits, karena saya non-skripsi, bukan berarti saya bisa nyantai, lho. Asal tau aja, tugas-tugas dari kelas-kelas pengganti skripsi wuarrrrbiasak. Banyak dan susah banget! #telenvitamin
Tapi karena udah kepincut sama kelasnya, saya pun mengerjakan semua dengan sungguh-sungguh.
3. Tetap kuliah bareng teman-teman
Jujur aja, nih. Kalau saya ngambil skripsi, saya sumpek ngebayangin satu semester penuh hanya berkutat dengan urusan karya tulis. Kayaknya bakal sepi dan bikin rindu suasana kampus.
Sementara dengan jalur non-skripsi, saya bisa masuk kelas secara reguler atau bahkan nyobain magang.
4. Risiko tertunda lulus lebih kecil
Ini sebenarnya tergantung pribadi masing-masing, sih. Tapi bagi saya, skripsi yang timeline pengerjaannya diatur diri sendiri itu lebih banyak godaannya. Bisa aja saya berminggu-minggu nggak mood, trus malah terpaksa begadang seminggu karena kejar tayang ditagih pembimbing. Belum lagi kalau harus ngejar-ngejar dosen pembimbing yang sibuk.
Sebaliknya, alternatif skripsi relatif lebih teratur penjadwalannya. Mungkin inilah kenapa banyak mahasiswa non-skripsi bisa lulus hanya dalam waktu 3,5 tahun.
5. Nggak ribet dengan hal teknis
Salah satu hal yang bikin saya nervous nyusun skripsi adalah detil teknisnya, seperti nge-print - fotokopi - jilid - hardcopy - revisi - nge-printlagi - salahhalaman - nge-print - jilid - dan seterusnya sampe tua!
Apalagi saya kurang teliti dengan hal-hal detil. Trus, malas juga lihat tumpukan kertas yang menggunung. Itung-itung non-skripsi bisa mengurangi pemakaian kertas, lah!
***
Jika dihadapkan dengan pilihan skripsi atau non-skripsi, setiap orang pasti punya preferensi masing-masing, walaupun dengan segala plus minusnya. Misalnya saya yang mantap—dan untungnya nggak menyesal—milih non-skripsi.
And that’s okay.
Yang nggak oke adalah sikap meremehkan lulusan non-skripsi, atau sebaliknya.
Kalau kamu masih bingung mau pilih skripsi atau non-skripsi, coba deh cari info sebanyak-banyaknya tentang keduanya. Trus, tukar pikiran dengan dosen pembimbing, ortu, senior, pacar, atau semuanya (siapa tau kamu pacaran sama senior yang juga anak dosen pembimbing? Paket lengkap!).
Apapun pilihanmu, jalanilah dengan komitmen penuh. Seperti komitmen kamu sama pasangan hidup. Ihiy!
(sumber gambar: Ottomortgage, Memecrunch, Memegenerator, Cluciety)
Kategori
gimana? udh wisuda?
Ciri-Ciri Proposal Skripsi yang Baik dan Berkualitas (dan Nggak Bakal Bikin Kamu Dibantai Dosen Penguji)ka mau tanya kalo dari smk keehatan apa bisa ngambil kedokteran hewan?
Mengenal Lebih Dekat Dengan Program Studi Kedokteran HewanKak, ada ga univ yang punya jurusan khusus baking and pastry aja?
5 Program Studi yang Cocok Buat Kamu yang Suka Makanansemangat terusss https://sosiologi.fish.unesa.ac.id/
5 Jurusan yang Diremehkan, Tetapi, Memiliki Prospek Kerja yang Bagussemoga selalu bermanfaat kontennya https://sosiologi.fish.unesa.ac.id/
5 Jurusan yang Diremehkan, Tetapi, Memiliki Prospek Kerja yang Bagus