Ajeng Ayu Arainikasih, Pengen Bikin Museum Jadi Fun!

Sebelum usianya genap 30 tahun, Ajeng Ayu Arainikasih sudah sukses menjadi founder komunitas Museum Ceria, dosen jurusan Arkeologi di Universitas Indonesia, serta peraih gelar Master dari program studi Art History Curatorial and Museum Studies di University of Adelaide, Australia. Kini Ajeng malah sedang bersiap-siap ke Belanda karena mendapat beasiswa LPDP program S3 di sana.

Walau prestasinya wuarbiyasak, sosok Ajeng tetap santai dan rendah hati “Waktu kuliah dulu, saya bukan mahasiswa berprestasi, kok. Biasa-biasa aja. Malah hobi main dan pernah nggak lulus mata kuliah,” ujar Ajeng ramah.

Penasaran sama cerita pecinta museum ini?  Simak obrolan lengkap Youthmanual dengan Ajeng, yuk!

Hai, Ajeng! Ceritain dong, apa sih, konsep Museum Ceria (Muscer)?

Konsep dari Muscer adalah independent museum educator. Jadi kami merancang berbagai acara di museum—khususnya untuk anak-anak dan keluarga—trus kami promosikan ke masyarakat.

Muscer juga bisa bikin suatu event di museum berdasarkan request museumnya sendiri, sekolahan, atau pihak lainnya. Intinya, kami berusaha supaya pengunjung museum mendapatkan pengalaman aktif dan seru, tapi tetap edukatif.

youthmanual - museum ceria

Main ular tangga raksasa sambil belajar pengetahuan di museum? Bisa!

Ada kaitannya nggak antara profesi Ajeng sebagai dosen Arkeologi dengan pekerjaan di Muscer?

Nyambung banget! Di kampus, saya ngajar mengenai teori museum dan Muscer adalah prakteknya. Jadi materi perkuliahan saya juga berdasarkan pengalaman sendiri di Muscer.

Sejak kapan kamu menyadari bahwa passion kamu di bidang museum dan mengajar?

Menjelang akhir kuliah S1 dulu, kampus saya mengeluarkan kurikulum baru dan ada mata kuliah mengenai museum. Saya ngambil mata kuliah tersebut dan ternyata suka. Kebetulan juga, setelah lulus S1, saya mendapat tawaran ngajar di kampus. Saya pun disarankan meneruskan S2 yang mendalami museum.

Bagaimana, sih, profil Ajeng saat kuliah? Apakah termasuk tipe ‘mahasiswa-berprestasi-rajin-cemerlang-gemar-menabung’?

Hahahaha, nggak banget! Waktu kuliah dulu, saya bukan mahasiswa berprestasi, kok.  Biasa-biasa aja. Malah hobi main dan pernah nggak lulus mata kuliah.

Trus, apa yang membedakan Ajeng dengan mahasiswa lain, sehingga akhirnya Ajeng sukses seperti sekarang?

Mungkin karena walaupun dulu saya hobi “main”, saya sambil mengeksplorasi berbagai hal, mulai dari belajar jualan, bikin cokelat, jadi Event Organizer, dan sebagainya. Saya juga nggak segan ikutan seminar atau workshop yang menarik, meskipun saya datang sendirian karena teman-teman lain nggak berminat.

Ajeng Ayu Arainikasih youthmanual

Dari mahasiswa yang biasa aja, jadi pekerja yang luar biasa. Semua gara-gara sering "main" sambil mengeksplorasi.

Ceritain, dong, bagaimana keseharian kamu, dengan kesibukan kamu sebagai dosen sekaligus aktif di Muscer?

Setelah bangun pagi, saya menyiapkan anak saya sekolah sambil bersiap-siap. Setelah itu, saya ke kampus untuk ngajar. Saya nggak ngajar 9-to-5 alias sepanjang hari, kok, hanya kalau ada kelas aja. Meski demikan, kegiatan saya di luar kelas juga cukup banyak, seperti menyiapkan kegiatan seminar, mengoreksi tugas dan ujian, dan sebagainya.

Sore hari, setelah kerjaan kampus selesai, saya mengerjakan urusan Muscer di kafe sekitar kampus atau perpustakaan. Tapi urusan Muscer nggak setiap hari ada, kok! Hanya kalau ada event aja. Dan biasanya, tiap awal tahun sudah ada rencana mau bikin kegiatan apa aja dalam setahun.

Sebagai seorang yang mempelajari museum, bagaimana pendapat kamu tentang museum di Indonesia?

Jujur, saya sedih melihat kondisi museum Indonesia, terutama saat saya bandingkan dengan Adelaide, kota tempat kuliah S2 saya dulu. Malah kondisi museum di Indonesia lah yang mendorong saya mendirikan Muscer.

Secara teori, perkembangan paradigma museum ada tiga. Pertama, museum tradisional yang collection-oriented alias memprioritaskan konservasi koleksi. Kedua, museum modern yang people-oriented. Museum ini adalah jenis yang memprioritaskan kebutuhan pengunjung. Ketiga, museum postmodern yang socially responsible serta menekankan partisipasi masyarakat.

Di Adelaide, saya menemukan museum yang bersifat modern dan postmodern. Misalnya, saat ada kunjungan anak sekolah, museumnya mengadakan kegiatan role-playing, storytelling, eksperimen, dan lainnya, sehingga para siswa bisa ikut aktif.

Sementara museum-museum di Indonesia nggak bisa membuat pengunjungnya aktif. Kalau pelajar Indonesia studi wisata ke museum lokal, mereka tetap pasif. Coba bayangin, hanya ada satu guide untuk memandu seratusan siswa, sementara siswanya cuma disuruh nyateeeeet aja! Masalah apakah siswa mengerti atau berminat dengan hal-hal yang ada di museum, pihak museumnya, sih, nggak mikirin. Jadi saya bertekad membuat project yang mengarahkan museum ke sifat postmodern.

Trus, kayak gimana, sih, program yang dijalankan Muscer?

Pertama, saya merancang suatu event di museum dengan tema tertentu, misalnya tema Imlek atau detektif. Tema ini biasanya hasil riset ke museum. Kemudian event ini kami promosikan ke masyarakat, khususnya keluarga. Trus, tentunya kami jalankan kegiatannya.

Muscer pernah mengadakan sebuah family weekend yang bertema “Agen Rahasia” dan dipublikasikan oleh media online. Eeh, tau-tau yang daftar banyak banget! Nggak berhenti-berhenti! Kami sampai terpaksa menolak beberapa calon peserta, karena kami hanya bisa menampung maksimal 100 anak.

museum polisi youthmanual

Tim ortu dan anak menjalankan misi program bertema "Polisi" di Museum Kepolisian.

Apa prinsip yang Ajeng pegang dalam menjalankan pekerjaan Ajeng?

Muscer sebenarnya mengikuti filosofi Tony Hsieh, CEO Zappos, sebuah online shop fashion sukses di dunia. Filosofinya adalah menjalankan bisnis dengan “passion, purpose, profit”.

Untuk Muscer, passion saya adalah museum, sementara purpose alias tujuannya adalah membuat anak Indonesia cinta sejarah dan budaya dengan mengunjungi museum. Sedangkan profit akan datang dengan sendirinya kalau hasil pekerjaannya bagus.

Apa suka duka dari pekerjaan kamu sekarang?

Bisa dibilang, hampir nggak ada dukanya karena pekerjaan ini memang sesuai passion saya. Padahal saya ‘kan orangnya bosenan. Tapi bekerja sebagai dosen dan pengelola Muscer nggak pernah bikin saya bosan, karena pekerjaannya membuat saya bertemu banyak orang baru, beradaptasi dengan semester baru, dan sebagainya.

Dukanya, sih, palingan kalau sedang sibuk-sibuknya, waktu saya untuk keluarga jadi berkurang.

Menurut kamu, apa tantangan terbesar dalam meningkatkan minat masyarakat terhadap museum serta mengembangkan museum di Indonesia sendiri?

Tantangan terbesarnya adalah sumber daya manusia di museum Indonesia. Mereka belum mengerti bagaimana cara mengembangkan program sesuai kebutuhan masyarakat. Mereka juga belum berani mencoba sesuatu yang berbeda. Makanya, sekarang departemen Arkeologi Universitas Indonesia pun mengembangkan program S2 Arkeologi dengan pengkhususan Museologi alias Ilmu Museum.

Masyarakat Indonesia sebenarnya sudah mulai melirik museum. Apalagi sekarang ini mulai banyak komunitas penggiat museum. Tapi, ya itu, orang banyak yang malas ke museum Indonesia karena merasa fasilitasnya jelek.

Saya sempat melakukan riset kecil-kecilan soal minat masyarakat terhadap museum. Hasilnya, sekitar 75 persen dari 100 keluarga kelas menengah atas hanya membawa anak mereka ke museum sebanyak 1-3 kali dalam setahun. Bahkan ada yang kurang dari itu!

Saat Ajeng memandu kunjungan museum anak-anak berkebutuhan khusus

Apa skill yang kamu pelajari di luar bangku sekolah, tetapi bermanfaat untuk profesi kamu sekarang?

Waktu kuliah, saya sempat bisnis kaos sama teman-teman. Mereka mengurus desain, produksi dan keuangannya, sementara saya yang menawarkan kaos produksi kami ini door-to-door ke distro-distro. Lewat pengalaman ini, saya jadi belajar tentang marketing dan cara menjajaki kerja sama dengan berbagai pihak, dan ini bermanfaat banget di pekerjaan saya sekarang.

Selain itu, saya juga pernah kerja magang mengajar di sebuah SD. Dari situ, saya jadi tahu bagaimana cara menghadapi berbagai macam anak, termasuk anak dengan kebutuhan khusus. Skill ini membantu saya banget dalam mengelola Muscer, karena target utama Muscer adalah anak-anak.

Wah, terima kasih Ajeng untuk ngobrol-ngobrolnya. Jadi langsung kepengen ke museum, nih!

Terima kasih juga! Saya mau kasih pesan, nih, untuk pembaca Youthmanual. Ke museum itu bermanfaat, lho, untuk memahami sejarah, warisan budaya, dan identitas diri kamu sendiri dengan lebih baik. Jadi walaupun kamu sering terpapar dengan berbagai budaya asing di era globalisasi ini, “rasa” lokal kamu nggak hilang.

Hear, hear, gaes!

(sumber gambar: dokumentasi pribadi)

POPULAR ARTICLE
LATEST COMMENT
syakila putri | 18 hari yang lalu

terimakasih atas informasinya. kunjungi website kami untuk informasi lebih lanjut https://unair.ac.id/

Bedah Peluang, Daya Tampung, serta Biaya Kuliah Jurusan Kedokteran dan Kedokteran Gigi Terbaik di Perguruan Tinggi Negeri
Muhamad Rifki Taufik | 28 hari yang lalu

4 Langkah menulis naskah film yang sangat bagus untuk mengembangkan skill penulisan saya. Terima kasih untuk ilmu yang bermanfaat.

4 Langkah Menulis Naskah Film yang Baik Bagi Pemula
Al havis Fadilla rizal | 2 bulan yang lalu

Open pp/endorse @alfadrii.malik followers 6k minat dm aja bayar seikhlasnya geratis juga gpp

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 3 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 11,6 followers dm ya bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 3 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 1,6 followers dm ya, bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Dibuat dan dikembangkan di Jakarta, Indonesia Hak Cipta Dilindungi 2015 - 2024 PT Manual Muda Indonesia ©
Rencanamu App

Platform Persiapan Kuliah & Karir No 1