Estetika Tak Beretika: Museum dan Galeri Seni Bukan Studio Foto Low-Budget Untuk Feeds Instagram Kamu

Admit it, pada suatu poin dalam kehidupan ini, kita pasti pengen memiliki feeds instagram yang rapi dan estetik layaknya selebgram-selebgram yang fotonya sering wara-wiri di laman Explore aplikasi media sosial tersebut. Mulai dari menyamakan tone warna setiap foto yang di-posting, hingga mencari spot-spot baru nan hits sebagai latar, semua dilakukan demi sebuah citra estetik yang ingin dicapai di dunia maya.

Saya nggak akan menyalahkan keinginan ini, kok. Malah menurut saya, ini sebenarnya bagus, karena artinya masyarakat kita sekarang, khususnya anak-anak muda, telah menjadi generasi kreatif yang memiliki cita rasa tinggi dalam dunia seni. Kadang, saya bahkan kagum dengan beberapa foto tersebut, karena nyatanya kualitas foto-foto itu nggak kalah dengan hasil jepretan fotografer-fotografer profesional yang kerap dipamerkan di pameran fotografi konvensional.

Tapi, ada satu masalah nih dengan mentalitas para “Pemburu Estetika” ini. Banyak dari mereka yang bertindak terlalu jauh demi mendapatkan label “aesthetic” di dunia maya—dalam hal ini instagram.

Beberapa waktu lalu, saya melihat sebuah tweet yang menyayangkan kelakuan beberapa pengunjung Museum Macan yang nggak mematuhi dan menghormati aturan yang sudah ditetapkan oleh pengelola. Tweet tersebut berisi screen capture postingan instagram pengunjung yang berfoto secara “tidak wajar” dengan karya yang dipamerkan di museum seni kontemporer tersebut.

Sebenarnya, kelakuan kayak gini udah sering banget saya jumpai—dilakukan oleh orang asing maupun teman-teman saya sendiri, melihat langsung maupun via medsos. Biaya masuk museum dan galeri seni yang relatif murah dibanding tempat-tempat instagrammable lainnya, mungkin menjadi faktor yang membuat para "Pemburu Estetika" hobi banget menjadikan kedua tempat ini sebagai studio foto dadakan mereka.

Saya jadi ingat sebuah artikel dari Pipeaway.com yang mengecam keras tindakan semacam ini dan bahkan menyebutnya sebagai sebuah deklarasi kebodohan.

Ya, gimana nggak? Beberapa pengunjung, nekat melakukan hal-hal yang "membahayakan" saat berfoto dengan karya yang dipamerkan. Berdiri terlalu dekat dengan karya seni, menyentuh lukisan yang jelas-jelas memiliki larangan untuk disentuh, memanjat instalasi, hingga melakukan pose-pose yang terlihat wajar tapi sebenarnya berpotensi merusak, kayak memeluk atau duduk tepat di atas karya tersebut. Semua dengan tega mereka lakukan demi sebuah selfie estetik untuk mengisi feeds instagram.

Saya jadi penasaran, mereka sebenarnya tahu nggak ya berapa besar waktu, tenaga, dan materi yang dikorbankan oleh para seniman agar karyanya bisa dipamerkan di galeri tersebut? Mereka tahu nggak ya betapa mirisnya seniman-seniman itu ketika melihat karya yang telah susah payah dibuat, malah diinjek-injek dan didudukin dengan mudahnya hanya demi sebuah postingan di media sosial?

Mereka tahu nggak betapa para seniman itu menyelipkan makna yang begitu dalam pada karya-karya yang akhirnya hanya dijadikan sebuah latar belakang untuk selfie mereka?

Well, kalau berdasarkan postingan-postingan yang sudah saya sebutkan di atas, sih, kayaknya mereka belum memiliki pengetahuan itu ya. Atau mungkin mereka nggak cukup peduli untuk mencari tahu tentang etika dan tata cara berkunjung ke museum dan galeri seni.

Dilansir dari Genmuda.com, seniman mural, Ryan Riyadi, pernah menuturkan pengalamannya soal kelakuan pengunjung dalam salahsatu pameran seni yang diikutinya.

“Gue pernah pameran mural di salah satu ruang di galeri. Dari jumlah tapak sepatu di temboknya, karya gue yang paling populer dari karya-karya lain” ujarnya, menyindir pengunjung yang biasa menapaki satu kaki ke tembok belakang sambil nyender ke tembok saat berfoto.

Senada dengan Ryan, Kendra Ahimsa yang artwork-nya pernah menjadi cover album untuk Rafi Muhammad “Art of Tree” dan band psychedelic Jepang Kikagaku Moyo ini juga menuturkan hal serupa.

“Gue pernah denger cerita kalo sampai ada pengunjung pameran yang menurunkan sebuah karya yang digantung hanya karena merasa karya itu nggak cocok sama foto OOTD dia. Gue yang denger aja miris, apa lagi kurator yang ngeliat langsung.” ujarnya.

Hm... jangankan Mas Kurator dan Mas Kendra sih, saya aja yang hanya seorang penikmat seni biasa, ikutan miris ketika mengetahui fakta ini.

Dan lagi-lagi, ini jadi membuat saya penasaran. Sepenting itukah nilai selfie di instagram hingga bisa mengalahkan nilai yang terkandung dalam sebuah karya seni dari seniman-seniman berbakat?

(sumber gambar: flickr.com)

Baca juga:

POPULAR ARTICLE
LATEST COMMENT
syakila putri | 12 hari yang lalu

terimakasih atas informasinya. kunjungi website kami untuk informasi lebih lanjut https://unair.ac.id/

Bedah Peluang, Daya Tampung, serta Biaya Kuliah Jurusan Kedokteran dan Kedokteran Gigi Terbaik di Perguruan Tinggi Negeri
Muhamad Rifki Taufik | 22 hari yang lalu

4 Langkah menulis naskah film yang sangat bagus untuk mengembangkan skill penulisan saya. Terima kasih untuk ilmu yang bermanfaat.

4 Langkah Menulis Naskah Film yang Baik Bagi Pemula
Al havis Fadilla rizal | 2 bulan yang lalu

Open pp/endorse @alfadrii.malik followers 6k minat dm aja bayar seikhlasnya geratis juga gpp

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 2 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 11,6 followers dm ya bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 2 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 1,6 followers dm ya, bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Dibuat dan dikembangkan di Jakarta, Indonesia Hak Cipta Dilindungi 2015 - 2024 PT Manual Muda Indonesia ©
Rencanamu App

Platform Persiapan Kuliah & Karir No 1