Sebagai Mahasiswa Jurusan Ekonomi, Inilah 4 Hal yang Gue Pelajari di Tiongkok
- Apr 20, 2016
- Youthmanual
Oleh Arief Wahyu Megatama
Ni hao!
Perkenalkan, gue Arief Wahyu Megatama, biasa dipanggil Ega. Saat ini, gue kuliah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, jurusan Manajemen, konsentrasi Pemasaran.
Semester ini, gue ngambil mata kuliah Pemasaran Internasional yang diajar oleh Prof. Rhenald Kasali. Uniknya, di mata kuliah ini, semua mahasiswanya diharuskan pergi ke luar negeri selama beberapa minggu, untuk melihat dan mengamati aspek sosial, budaya, bisnis, dan tentunya pemasaran negara tersebut. Perginya harus sendiri, lho, nggak boleh ditemani siapa-siapa. Jadi, di negara tujuan, kami harus mencari kenalan baru sebanyak-banyaknya.
Kegiatan yang bernama 30 Paspor ini adalah kegiatan rutin tahunan yang sudah berjalan selama beberapa tahun, bahkan sempat didokumentasikan di dalam sebuah buku yang ditulis oleh salah satu mahasiswa Prof. Rheinald Kasali.
Selama di sana, mahasiswa partisipan kegiatan 30 Paspor ini pun wajib sharing foto-foto mereka dengan hashtag #30paspor atau #30paspor2016 di berbagai social media. Jadi, kalau penasaran, kamu bisa cari hashtag tersebut untuk mendapat gambaran lebih jelas tentang serunya kegiatan ini.
Tahun ini, negara yang menjadi tujuan teman-teman sekelas saya di kelas Pemasaran Internasional ini sangat beragam. Mulai dari negara di Asia, Eropa, Australia, sampai Afrika. Bahkan ada yang memilih Maldives. Sebenarnya dia ke sana buat mau ngerjain tugas atau bulan madu, ya?
Nah, gue sendiri memutuskan untuk pergi ke negara Tiongkok, tepatnya ke kota Guangzhou dan Shenzhen. Sebenarnya, sih, negara pilihan utama gue adalah Jepang, tetapi sayangnya sudah ada mahasiswa lain yang memilih negara tersebut. Pada akhirnya, gue memilih Tiongkok karena… gue suka film Kung Fu Panda, hahaha!
Oke, itu alasan bercandanya. Kalau alasan seriusnya, karena Tiongkok adalah negara besar dengan budaya tradisional yang masih kuat. Lalu, secara perekonomian, tentunya kamu juga tahu kalau sekarang Tiongkok adalah negara yang perekonomiannya paling kuat di Asia. Tahu ‘kan, kalau Tiongkok dijuluki sebagai sebagai raksasa ekonomi di Asia?
Nah, sebenarnya apa, sih, yang dilakukan masyarakat Tiongkok sampai perekonomian mereka bisa kuat begitu? Berikut adalah beberapa hal yang gue observasi di Tiongkok, yang—menurut gue, sebagai mahasiswa Ekonomi—sangat berperan dalam membentuk pola pikir masyarakat sehingga berdampak kepada kemajuan perekonomian mereka.
1. Kesejahteraan masyarakat Tiongkok sangat diperhatikan pemerintah
Shenzhen adalah kota yang dikembangkan oleh pemerintah Tiongkok untuk menjadi Special Economic Zone. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah Tiongkok memberikan insentif kepada masyarakat yang mau tinggal dan bekerja di Shenzhen. Jadi, orang-orang yang bekerja di Shenzhen akan mendapat tambahan pemasukan, di luar gaji pokok mereka. Enak, ya?
Kebijakan ini membuat banyak orang dari luar kota Shenzhen datang untuk bekerja di kota ini, sehingga, seperti Jakarta, Shenzen menjadi kota melting pot yang multikultural. Bahkan isi hostel tempat gue menginap kebanyakan adalah anak muda yang sedang mencari pekerjaan.
2. Masyarakat Tiongkok didorong untuk banyak berbelanja, sehingga perputaran ekonomi mereka cepat
Kabar baik buat kamu yang doyan belanja! Di Guangzhou dan Shenzhen, ada banyak banget shopping district yang dipenuhi oleh berbagai macam toko, seperti Shangxiajiu, Beijing Lu, dan Laojie/Luohu. Ketiga tempat ini merupakan pedestrian shopping street yang selalu ramai, hari apa pun dan jam berapa pun. Herannya, banyak brand yang memiliki beberapa gerai di area perbelanjaan yang sama. Contohnya, nih, di bagian barat pusat perbelanjaan A, ada gerai brand X. Eh, di bagian timurnya juga ada. Di utara juga ada. Pas mau pulang, eh, ketemu lagi sama gerai brand X! (bingung nggak? Coba diulang-ulang aja bacanya, hehehe). Padahal produk-produk yang dijual tentunya sama aja.
Selain ke pedestrian shopping street tersebut, kamu juga bisa berbelanja ke Tianhe Lu. Di sana ada banyak mall yang menjual brand premium. Mungkin kalau di Indonesia semacam Grand Indonesia kali, ya, tetapi ini versi lebih kerennya.
Jadi, bagi masyarakat Tiongkok, waktu adalah uang. Mereka maunya semua serba cepat, termasuk saat bertransaksi belanja. Sehingga, hampir di setiap sudut di Tiongkok, kamu pasti akan ketemu dengan QR Code dan Barcode di semua produk yang dijual.
Self-service technology di bioskop menggunakan QR code
Kedua code ini bukan kode yang suka kamu kasih ke teman sekelas kalau lagi minta contekan, ya. Itu kode yang beda, sob. Kedua code ini berfungsi untuk melakukan pembayaran. Jadi, saat berbelanja, smartphone kamu bisa meng-scan code tersebut, trus pembayaran belanjaan kamu otomatis akan diproses dengan menggunakan Visa, Paypal, atau Alipay. Gampang banget, deh, pokoknya. Ya, kita jadi lebih gampang menghabiskan uang juga, sih.
3. Tempat wisata ada dimana-mana
Pemerintah Tiongkok benar-benar serius, lho, dalam menjadikan negaranya sebagai tujuan wisata, baik bagi turis lokal maupun mancanegara. Di Tiongkok, ada banyak sekali tourist attractions, mulai dari yang mengenakan tarif sampai yang benar-benar gratis, seperti taman dan beberapa kuil yang bisa kamu nikmati tanpa mengeluarkan uang sedikitpun. Cocok, deh, buat pacaran hemat.
Sebenarnya, sih, Indonesia punya lebih banyak potensi tempat wisata yang bisa jadi sumber pendapatan negara, tetapi potensi-potensi tempat wisata tersebut banyak yang belum dikelola dengan baik. Mungkin karena pemerintah masih fokus kepada permasalahan yang lebih mendesak ya? #positivethinking
#positivethinking
4. Transportasi umum yang dikelola dengan baik
Masyarakat Tiongkok lebih suka menggunakan transportasi umum daripada kendaraan pribadi. Apalagi di sebagian besar kota-kota Tiongkok, sepeda motor dilarang beredar. Memang, sih, transportasi umum di Tiongkok murah, bersih, dan nyaman. Cakupannya juga luas. Jadi anggapan bahwa jalanan Tiongkok, tuh, macet dan berpolusi tinggi terbukti salah!
Trus, ternyata kereta cepat nggak hanya ada di Jepang dan Prancis. Tiongkok juga punya, lho! Gue sendiri sempat menggunakan kereta cepat dari Guangzhou ke Shenzhen. Hemat waktunya, sih, jangan tanya. Luar biasa banget! Dengan kecepatan maksimum sekitar 300km/jam. Guangzhou-Shenzhen bisa ditempuh dalam waktu 45 menit saja. Harga tiketnya juga cuma Rp150,000. Kalau disandingkan dengan value keretanya, harga ini jelas nggak mahal.
Setelah merasakan sendiri manfaatnya, menurut gue, kereta cepat memang dibutuhkan untuk menghubungkan kota-kota di negara padat, khususnya kota yang menjadi pusat perekonomian dan wisata. Termasuk Jakarta? Pastinya.
***
Begitulah beberapa hal yang gue pelajari di Tiongkok, dilihat dari sudut pandang mahasiswa Ekonomi. Intinya, nggak heran, deh, kalau Tiongkok didapuk sebagai salah satu negara yang perekonomiannya terkuat di Asia. Padahal di tahun 1980an, keadaan Tiongkok masih “lusuh” dan jauuuh dari sekarang. Kapan, ya, Indonesia bisa jadi seperti Tiongkok? Meski klise, jawabannya tergantung usaha anak muda Indonesia, dong, ya!
(sumber gambar: dokumentasi pribadi, hereyougo-al.blogspot.com, youtube.com, echinacities.com, chinatravelgo.com)
Kategori
gimana? udh wisuda?
Ciri-Ciri Proposal Skripsi yang Baik dan Berkualitas (dan Nggak Bakal Bikin Kamu Dibantai Dosen Penguji)ka mau tanya kalo dari smk keehatan apa bisa ngambil kedokteran hewan?
Mengenal Lebih Dekat Dengan Program Studi Kedokteran HewanKak, ada ga univ yang punya jurusan khusus baking and pastry aja?
5 Program Studi yang Cocok Buat Kamu yang Suka Makanansemangat terusss https://sosiologi.fish.unesa.ac.id/
5 Jurusan yang Diremehkan, Tetapi, Memiliki Prospek Kerja yang Bagussemoga selalu bermanfaat kontennya https://sosiologi.fish.unesa.ac.id/
5 Jurusan yang Diremehkan, Tetapi, Memiliki Prospek Kerja yang Bagus