Razan Mohamad, Sudah Tahu Passionnya Adalah Menari Sejak SMP, Lalu Konsisten Dikejar Sampai Sekarang. Contoh, Yuk!

Anak muda yang hobi nge-dance ada banyak. Tapi anak muda yang sudah mantap menetapkan dance sebagai masa depannya sejak SMP? Jarang, sob!

Makanya, menurut saya, Razan Mohamad (18) adalah sosok yang pantas dikagumi. Cowok lulusan SMA Lab School Cibubur ini adalah seorang Penari muda yang baru lulus SMA. Namun yang membedakan Razan dengan kebanyakan anak muda lain yang berkecimpung di dunia tari adalah, Razan menyikapi hobi tarinya dengan sangat serius.

Malah, bagi Razan, tari bukan sekedar hobi, tetapi sebuah tujuan masa depan.

Youthmanual sering mendapat curhatan dan keluh kesah anak-anak muda—dari yang masih SMA, sampai yang sudah lulus kuliah—tentang kegalauan mereka terhadap tentang masa depan. “Saya cocoknya jadi apa ya, Kak?” atau “Gimana ya, cara mengejar minat saya?” adalah contoh pertanyaan yang jadi makanan kami sehari-hari.

Makanya, saya salut dengan Razan, karena dia sudah bisa menentukan minatnya sejak SMP, lalu konsisten mengejarnya sampai sekarang. Harus dicontoh sama kamu-kamu, nih!

Yuk, simak obrolan saya dengan Razan!

Halo, Razan! Kamu mulai nari kapan, sih?

Halo juga! Aku mulai suka nari sejak 6-7 taun lalu, pas aku SD, mau SMP.

Kapan dan gimana kamu sadar bahwa menari adalah passion utama kamu?

Awalnya, aku tertarik nge-dance sejak nonton sebuah film tentang street dance. Makanya, aku mulai nari dengan nari hiphop.

Pas SMP, aku punya tim dance sendiri. Saat situ, aku udah ngerasa bahwa nari tuh “gue banget”. Bahkan pas SMP dulu itu, aku nggak pernah keberatan kalau harus  sering latihan berjam-jam sampai pulang malam, misalnya. Aku nggak pernah merasa capek, apalagi ngeluh.

Tapi pas aku kelas 3 SMP, tim dance aku ini bubar. Gara-garanya, teman-teman se-tim aku udah pada fokus ke hal-hal lain. Cuma aku yang “bertahan” dengan passion nari aku. Aku tetap cinta nari. Dari situ aku sadar, bahwa passionku memang menari.

Tapi meskipun udah tau passion aku apa, bukan berarti aku juga tau, apa langkah yang harus aku ambil berikutnya. Waktu itu aku bahkan nggak paham, gimana sih cara menjadikan nari menjadi suatu profesi?

Anyway, setelah tim dance aku itu bubar, aku vakum nari setahun. Bukan vakum, sih, cuma aku nggak punya wadah dan penyaluran nari. Aku nggak tau harus ke mana. Jadi aku cuma nari-nari sendiri aja di rumah, setiap hari.

Untungnya, pas SMA, sekolahku mengadakan kerjasama dengan studio tari Gigi Art of Dance (GAOD). Dari situ, aku jadi kenal dengan Miss Gigi [Gianti Giadi, pemilik dan penemu Gigi Art of Dance]. Nah, dia lah yang membukakan dunia tari untuk aku. Dari Miss Gigi, aku jadi paham, oh ternyata profesi di bidang tari, tuh, ada banyak. Aku bisa jadi penari industri, bisa jadi koreografer, bisa jadi kritikus seni. Banyak, deh!

Pokoknya, Miss Gigi membukakan berbagai jalan menuju profesi-profesi tari itu untuk aku. Kasarnya, aku tinggal milih. Yang pasti, aku jadi mantap memilih tari sebagai karier aku.

Kamu ‘kan sudah lulus SMA, tapi belum kuliah. Sekarang ini, kegiatan sehari-hari kamu ngapain?

Tahun ini, aku baru lulus dari SMA Lab School Cibubur, tapi aku memang menunda berkuliah. Rencananya, aku baru akan kuliah tahun depan.

Salah satu alasan utamanya adalah karena selama setahun ke depan, aku internship alias kerja magang di GAOD, di bawah mentoring Miss Gigi. Aku mulai magang sejak awal Juni kemarin

Sebagai intern, aku nggak hanya belajar menjadi penari yang lebih baik, tetapi juga belajar tentang proses kreatif, belajar menjadi koreografer, event commitee untuk berbagai acara GAOD, bahkan sebagai administrasi di studio. Pokoknya macem-macem, deh. Seru banget mempelajari industri tari secara langsung, nggak hanya lewat teori.

Kalau sebagai penari, di GAOD aku ikut kelas berbagai macam tarian. Dan aku musti ikut di semua levelnya. Misalnya, aku ikut kelas contemporary jazz. Nah, aku harus ikut kelas contemporary jazz level Beginner, Intermediate, sampai Advance. Jadi hari-hariku sekarang memang sangat penuh dengan tari. Miss Gigi sengaja mendorong aku habis-habisan, agar kemajuan aku sebagai penari jadi lebih cepat.

Gimana kesan-kesan magang di studio Gigi Art of Dance sejauh ini? Apakah capek, berat, atau malah sesuai ekspektasi?

Yang pasti, Miss Gigi sangat mendorong aku untuk belajar sebanyak-banyaknya, selama setahun ke depan. Aku jadi sering bekerja seharian.

Teman-temanku sebenarnya pada heran. Kenapa, sih, anak seumuran aku sudah nge-push diri sampai segininya?

Jawabannya karena aku memang passionate banget di dunia tari! Hahaha. Jadi aku sama sekali nggak merasa terpaksa. Aku paham, bekerja seperti ini akan ada  tujuan baiknya.

Selain itu, lingkungan GAOD juga sangat friendly dan suportif, jadi aku nggak merasa terbebani sama sekali, walaupun ada banyak hal yang harus aku kerjakan dan pelajari setiap hari.

Dengar-dengar, kamu berencana kuliah di Institut Seni Indonesia Surakarta(ISI Solo). Apa alasan kamu ingin masuk ke sana?

Sebenarnya dulu aku nggak mau kuliah, lho! Soalnya dulu aku nggak kebayang kalau pekerja seni harus kuliah. Tapi sekarang aku paham bahwa edukasi formal sangat penting, apapun bidang yang kita tekuni.

Kenapa aku tertarik masuk ISI Solo? Hmmm, waktu SMA, sih, aku nggak ngerti sama sekali harus kuliah di mana, kalau mau mendalami seni tari. Dulu aku kira, ujung-ujungnya masuk Seni Tari di UNJ, karena alumniku, SMA Lab School, ‘kan berada di bawah UNJ. Tapi aku mikir, apa pilihannya cuma UNJ?

Nah, setelah nanya-nanya, termasuk ke Miss Gigi, aku banyak disarankan untuk masuk ke ISI Solo. Katanya, program tarinya bagus. Apalagi ISI Solo punya banyak lulusan penari yang keren-keren banget, seperti Mas Eko (Supriyanto) dan Mas Danang (Pamungkas) yang sudah go international. ISI Solo juga punya banyak platform menari yang menarik, seperti misalnya 24 Jam Menari.

Trus, ISI Solo ‘kan identik dengan spesialisasi tari tradisional. Kebetulan, aku juga ingin punya ciri khas sebagai penari tradisional.

Akhirnya aku memutuskan untuk akan kuliah di ISI Solo aja. Aku juga udah riset dan cari-cari tau soal tes seleksi masuknya, untuk tahun depan.

Kenapa kamu milih tari tradisional sebagai ciri khas atau specialty tari kamu? Padahal kamu ‘kan juga berbakat di jenis tarian kontemporer dan hiphop.

Ini sedikit klise, sih, tapi menurutku seni tradisional Indonesia itu kuat banget.

Indonesia punya ribuan tarian dari Sabang sampai Merauke, tapi nggak ditonjolkan. Akibatnya, anak-anak muda Indonesia merasa tarian tradisional nggak menjual, dan nggak banyak penari muda yang tertarik untuk menjadikan tradisional sebagai signature mereka.

Padahal tarian Indonesia itu super unik, dan banyak tarian Indonesia yang nggak ada kemiripannya dengan tari tradisional dari negara lain. Menurutku, ini bisa jadi specialty yang potensial banget.

Dulu aku juga nggak paham dengan tari tradisional, kok. Tapi setelah ikut kelas tari tradisional di GAOD, aku jadi merasa, wah, ini unik banget, lho. Jadi aku merasa tari tradisional punya nilai yang sangat tinggi, sehingga aku pilih sebagai signature.

Apa, sih, cita-cita utama kamu di dunia tari? Your ultimate goal, deh.

Khayalanku, setelah lulus S1, aku ingin menyebarkan pengetahuan tari untuk masyarakat luas. Menurutku, wawasan tari di antara kalangan penari Indonesia sudah cukup bagus, tapi knowledge di masyarakat awamnya masih minim.

Misalnya, hiphop. Saya sering dengar omong, “Oh, hiphop, tuh, yang kayak [jenis] olahraga aerobik itu, ya?”

Haaah apaan, sih?! Hiphop ‘kan jenis tarian, yang lahir dari budaya hiphop yang sudah panjaaaang sekali sejarahnya! Contoh lain, banyak orang yang nggak tau, tarian kontemporer tuh seperti apa.

Jadi, meski belum tau bagaimana caranya, aku punya cita-cita untuk menyebar knowledge soal tarian, dan memperbaiki persepsi-persepsi yang salah itu. Kasih edukasi tari, lah, ke masyarakat.

Lagi-lagi, aku belum kebayang bagaimana cara melakukan edukasi tersebut, tapi aku cukup banyak belajar dari Miss Gigi. GAOD ‘kan suka bikin sosialisasi atau program untuk reach out ke masyarakat, misalnya, lewat acara-acara umum ataupun acara-acara di sekolah. Bahkan GAOD punya program EduDance yang datang ke sekolah-sekolah.

Trus, terinspirasi dari Mas Eko Supriyanto, aku juga kepengen S2, kalau bisa dengan beasiswa

Aku juga ingin mengubah stereotipe di Indonesia, bahwa cowok nggak pantas nari atau bekerja di bidang seni. Banyak temanku yang berminat di bidang seni, misalnya musik. Tetapi lingkungannya nggak mendukung, misalnya dengan omongan-omongan seperti, “Udahlah, elo ‘kan nanti bakal jadi bapak. Kerja yang bener aja, lah!” seakan-akan bekerja di bidang seni tuh “nggak bener”.

***

Nah, gimana, tuh, cara Razan memperbaiki stereotipe tersebut yang—harus diakui—cukup saklek di Indonesia? Apakah Razan sendiri mendapat tentangan dari keluarga, untuk jadi penari? Apa, sih, momen-momen down dia?

Tunggu kelanjutan obrolan kami di bagian kedua, ya!

(sumber gambar: Laila Achmad)

POPULAR ARTICLE
LATEST COMMENT
syakila putri | 26 hari yang lalu

terimakasih atas informasinya. kunjungi website kami untuk informasi lebih lanjut https://unair.ac.id/

Bedah Peluang, Daya Tampung, serta Biaya Kuliah Jurusan Kedokteran dan Kedokteran Gigi Terbaik di Perguruan Tinggi Negeri
Muhamad Rifki Taufik | 1 bulan yang lalu

4 Langkah menulis naskah film yang sangat bagus untuk mengembangkan skill penulisan saya. Terima kasih untuk ilmu yang bermanfaat.

4 Langkah Menulis Naskah Film yang Baik Bagi Pemula
Al havis Fadilla rizal | 2 bulan yang lalu

Open pp/endorse @alfadrii.malik followers 6k minat dm aja bayar seikhlasnya geratis juga gpp

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 3 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 11,6 followers dm ya bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 3 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 1,6 followers dm ya, bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Dibuat dan dikembangkan di Jakarta, Indonesia Hak Cipta Dilindungi 2015 - 2024 PT Manual Muda Indonesia ©
Rencanamu App

Platform Persiapan Kuliah & Karir No 1