Wregas Bhanuteja, Sutradara Muda Pemenang Cannes Lewat Filmnya Tentang Alat Kelamin
- Oct 27, 2016
- Dian Ismarani
Wregas Bhanuteja (Wregas) lahir di Jakarta, 20 Oktober 1992. Wregas kemudian tumbuh besar di Yogyakarta dan bersekolah di SMA Kolese De Britto Yogyakarta. Ketika kuliah, Wregas kembali ke Jakarta dengan mengambil jurusan Televisi dan Film di Institut Kesenian Jakarta.
Film pendekanya berjudul Lembusura (2014) terpilih di 65th Berlin International Film Festival 2015. Selain itu, film pendeknya berjudul Floating Chopin, juga ikut meramaikan Hong Kong Film Festival 2016. Film terbarunya, Prenjak / In The Year of Monkey (2016) memenangkan Leica Cine Discovery Prize sebagai film pendek terbaik di Semaine de la Critique, Cannes Film Festival 2016.
Bagaimana, sih, sosok Pengarah Acara Televisi (Sutradara/Director) / film muda ini? Saya bertemu Wregas di Ubud Writers and Readers Festival 2016 dan langsung menodong seniman muda ini buat ngobrol-ngobrol. Simak wawancara kami dan siap-siap tersinpirasi!
Halo, Wregas! Lagi mengerjakan project apa sekarang?
Saat ini saya menulis film panjang pertama saya. Jadi dari Cannes Film Festival kemarin, ada sebuah hadiah yang diberikan yaitu lab untuk membangun script film panjang, namanya Next Step Lab. Nah, jadi saya akan ke Paris lagi buat bawa script saya itu dan berdiskusi sama mentor sutradara dan penulis untuk film panjang saya.
Bagaimana awalnya Wregas menjadi sutradara film pendek? Kapan dan bagaimana Wregas sadar bahwa passion Wregas adalah bidang ini?
Pas kelas 3 SMP, saya nggak merasa seperti teman-teman lain yang udah pada menemukan bakatnya. Saya nggak jago olahraga, musik atau bidang akademis.
Terus waktu itu ada lomba film antar kelas dalam rangka merayakan 17 Agustus. Itulah pertama kali saya mengenal film dan ternyata membuat film itu asyik, ya. Padahal dulu saya berperan sebagai aktor di film sekolah itu. Tapi saya bawel dan justru banyak intervensi ke sutradara. Makanya saya lebih cocok di belakang layar.
Menurut Wregas, bagaimana prospek karir sutradara muda di Indonesia?
Dulu waktu tahun 80-an, untuk menjadi sutradara kita harus jadi asisten sutradara dulu sebanyak lima kali. Kalau sekarang, peluang untuk menjadi sutradara itu terbuka sangat besar. Kamu bisa memproduksi film dengan harga yang murah. Justru sebetulnya yang menjadi pertarungan sekarang adalah ide atau gagasan yang ingin disampaikan lewat film.
Apa yang paling Wregas sukai dari menjadi seorang sutradara, dan apa tantangannnya?
Saya punya tempat untuk menunjukkan karya saya. Bukan buat pamer bahwa karya saya keren, lho. Tapi lebih ke tempat untuk membangun film bersama dengan para kru dan pemain. Berkomunikasi sama mereka membuat saya merasa terus berkembang dan belajar.
Tantangannya biasanya dari sisi produksi. Ribetnya proses syuting, menentukan pemain, mengatur budget, tapi ya diikmati aja. Itulah proses membuat sebuah film.
Siapa penulis atau sutradara idola Wregas, dan kenapa?
Sutradara Indonesia yang paling saya kagumi adalah almarhum Asrul Sani. Film yang paling saya suka adalah “Apa Jang Kau Tjari, Palupi?”. Saya mengagumi beliau karena tulisan dan filmnya selalu original. Nggak melulu mengikuti selera pasar. Lebih kepada isu yang benar-benar pengen dia sampaikan.
Kalau dari luar negeri Xavier Dolan. Sutradara muda dari Canada dan film-filmnya sangat personal. Saya kagum betapa beraninya dia bercerita tentang siapa dia lewat film-film tersebut.
Kalau penulis pastinya Seno Gumira Adjidarma.
Cerita, dong, tentang awalnya ide menulis Film Prenjak!
Awalnya, saya mendapat cerita tentang sebuah fenomena yang terjadi di Yogyakarta tahun 80-an. Ada gadis yang menjual korek api dengan harda seribu rupiah setiap batang. Jadi dari batang korek api itu, laki-laki yang membeli bisa melihat alat kelamin wanita tersebut. Cuma melihat, nggak boleh disentuh.
Cerita itu nggak bisa hilang di benak saya. Cerita tentang cara hidup yang nggak biasa. Akhirnya saya padukan dengan cara saya memandang perempuan.
Pengalaman apa yang paling berkesan selama membuat Prenjak?
Pengalaman yang paling berkesan adalah mendapat shoot alat kelamin. Di film ini sebetulnya ada pengambilan gambar alat kelamin. Tapi ini bukan alat kelamin si aktor yang berperan.
Dulu saya sempat mendatangi rumah prostitusi di Yogya dan bertanya satu persatu apakah ada yang mau diambil gambar tanpa memperlihatkan wajah mereka. Saya udah bilang ini bukan wawancara. Tapi mereka semua nggak ada yang mau dan trauma sama kamera.
Akhirnya ketika pulang ke Jakarta, saya ingat ada satu model fotografi yang bersedia difoto tanpa busana. Ketika saya bercerita soal Prenjak, dia bersedia melakukan syuting ini.
Salah satu adegan film Prenjak, ketika sedang menawarkan korek api
Apa skill yang dipelajari di luar bangku sekolah, tapi bermanfaat untuk profesi Wregas sekarang?
Jadi dulu SMA saya isinya cowok semua dan rambut kita boleh gondrong. Hari selasa sampai Sabtu baju kita bebas. Seragam cuma dipakai hari senin. Di sekolah itu, saya belajar arti kebebasan. Kedua, kemampuan berefleksi. Berkaca tentang diri sendiri. Menganalisa kekurangan, kekuatan, tujuan hidup dan lain sebaginya.
Jadi mungkin dua kemampuan itu, yaitu mengelola kebebasan dan refleksi, yang sangat bermanfaat buat saya saat ini. Ini nggak diajarkan di banyak sekolah tapi saya beruntung sekolah saya mengajarkan itu.
Boleh cerita tentang satu contoh kegagalan Wregas dalam karier ataupun studi? Apa yang bikin kembali bersemangat?
Waktu itu semester 4, saya harus bikin film dengan sesuloid kecil karena tugas dari kampus. Ketika syuting, pitanya macet dan pas diangkat dari cangkangnya, pita itu berantakan kayak spageti. Orang laboratorium yang bertugas mencuci film sempat bilang ini berpotensi terbakar. Untungnya film masih selamat meskipun banyak jitter.
Saya sempat frustasi banget dan sadar betapa sulitnya proses pembuatan film itu.
Menurut Wregas, seberapa besar film bisa menyampaikan pesan dari politik, filosofi feminism atau bahkan seksualitas, terutama buat anak muda?
Film pastinya bisa menyampaikan gagasan dengan kuat. Soalnya kamu ‘kan fokus kalo lagi nonton. Itu kenapa kalau setelah nonton film kungfu kamu pengen belajar kungfu, setelah nonton film koboi kamu merasa gagah atau ketika nonton film depresi kamu merasa sedih. Film ya memang sekuat itu.
Dan saya senang banget bisa ada di Ubud Writers and Readers Festival ini karena saya bisa mempelajari akar dari kesenian film yang saya geluti yaitu sastra. Saya merasa seperti sedang napak tilas elemen terpenting dari film dan itu yang saya rasakan di UWRF ini.
***
Terima kasih, Wregas! Semoga makin banyak film maker muda yang terinspirasi! Abis ini saya mau ngasih tips dari Wregas soal pembuatan film. Nantikan artikel selanjutnya, ya.
(Sumber gambar: Iyank, beritagar.id, youtube.com, thejakartapost.com)
gimana? udh wisuda?
Ciri-Ciri Proposal Skripsi yang Baik dan Berkualitas (dan Nggak Bakal Bikin Kamu Dibantai Dosen Penguji)ka mau tanya kalo dari smk keehatan apa bisa ngambil kedokteran hewan?
Mengenal Lebih Dekat Dengan Program Studi Kedokteran HewanKak, ada ga univ yang punya jurusan khusus baking and pastry aja?
5 Program Studi yang Cocok Buat Kamu yang Suka Makanansemangat terusss https://sosiologi.fish.unesa.ac.id/
5 Jurusan yang Diremehkan, Tetapi, Memiliki Prospek Kerja yang Bagussemoga selalu bermanfaat kontennya https://sosiologi.fish.unesa.ac.id/
5 Jurusan yang Diremehkan, Tetapi, Memiliki Prospek Kerja yang Bagus