Anak Berkebutuhan Khusus: Lebih Baik Sekolah di Sekolah Umum Atau di Sekolah Luar Biasa?

Tahukah kamu? Jumlah anak usia pendidikan dasar dan menengah yang nggak sekolah masih tinggi di Indonesia. Menurut survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik pada 2016 menunjukkan, dari 4,6 juta anak yang nggak sekolah, satu juta di antaranya adalah anak-anak berkebutuhan khusus (difabel/disabilitas).

Sementara, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memperkirakan bahwa hampir 70% anak berkebutuhan khusus nggak memperoleh pendidikan yang layak. Sebab, dari data terakhir  Badan Pusat Statistik tahun 2017 menyebutkan bahwa jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia adalah sebanyak 1,6 juta orang.

Artinya, satu juta lebih anak berkebutuhan khusus belum memperoleh pendidikan yang penting bagi kehidupannya. Dari 30% anak berkebutuhan khusus yang sudah memperoleh pendidikan, hanya 18% di antaranya yang menerima pendidiikan.

Menurut saya, rendahnya jumlah anak berkebutuhan khusus yang memperoleh pendidikan ini disebabkan oleh berbagai faktor. Di antaranya adalah:

  • Kurangnya infrastruktur sekolah yang memadai
  • Kurangnya tenaga pengajar khusus
  • Penilaian negatif masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus yang mengira mereka nggak akan bisa mengikuti pelajaran sama dengan anak-anak lainnya
  • Upaya dan perhatian pemerintah yang dinilai masih setengah-setengah terhadap anak berkebutuhan khusus
  • Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) untuk anak berkebutuhan khusus di sekolah-sekolah belum dikeluarkan hingga saat ini
  • Standar dan indeks inklusi juga belum ada di Indonesia

Nggak cuma itu, faktor utama yang menyebabkan anak berkebutuhan khusus nggak bisa mendapatkan pendidikan karena dari keluarga yang memiliki anggota keluarga yang berkebutuhan khusus nggak menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi mereka. Dalam hal ini, memang dibutuhkan penerimaan terlebih dahulu dari orang tua atau pihak keluarga lainnya mengenai anggota keluarga yang berkebutuhan khusus.

Salah satu caranya dengan menyekolahkan anak berkebutuhan khusus di sekolah luar biasa. Mungkin kamu sering mendengar mengenai sekolah luar biasa. Tapi, nggak semua orang tahu dengan benar apa itu sekolah luar biasa.

Ya, sesuai dengan namanya, sekolah luar biasa atau yang lebih dikenal dengan nama SLB adalah sekolah yang ditujukan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. SLB  sendiri diperuntukkan bagi anak berkebutuhan khusus agar bisa mendapatkan layanan dasar yang bisa membantu mendapatkan akses pendidikan.

For your information, anak berkebutuhan khusus sendiri bisa digolongkan menjadi beberapa macam, gaes—yaitu tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan tunaganda. Dan ternyata… nggak semua anak berkebutuhan khusus bisa berada dalam satu SLB, lho!

Ada 6 macam SLB yang ditujukan untuk setiap kelainan anak.  Soalnya, dengan jenis kelainan yang berbeda, berbeda pula strategi pembelajaran serta fasilitas yang dimiliki. Well, berikut ini jenis-jenis SLB yang perlu kamu ketahui.

1. SLB-A

SLB-A ditujukan bagi para penyintas tunanetra. Tunanetra adalah kondisi di mana seseorang memiliki hambatan dan keterbatasan dalam indera penglihatannya. Para guru yang mengajar di SLB-A akan menggunakan metode-metode yang tentunya dipahami oleh tunanetra. Contohnya adalah huruf dan tulisan braille, model benda, gambar timbul hingga perekam suara.

2. SLB-B

Berbeda dengan SLB-A, SLB-B ditujukan bagi penyintas tunarungu, gaes. Seperti yang kita ketahui, tunarungu adalah kondisi di mana seseorang memiliki hambatan dan keterbatasan dalam indera pendengarannya.

Para penyintas tunarungu akan diajari bagaimana cara berkomunikasi dengan bahasa isyarat, sekaligus membaca gerakan bibir lawan bicaranya. Mereka juga diajari bagaimana menggunakan alat bantu pendengaran.

3. SLB-C

SLB-C diperuntukkan bagi penyintas tunagrahita. Tunagrahita merupakan sebuah kondisi di mana seorang anak memiliki keterbelakangan mental atau disebut juga dengan retardasi mental.

Penyintas tunagrahita memiliki IQ yang di bawah rata-rata sehingga tingkat intelegensi mereka pun lebih rendah dari anak-anak lainnya. Disini kesabaran seorang guru harus lebih ekstra untuk mengajari mereka.

4. SLB-D

SLB-D ditujukan bagi para penyintas tunadaksa. Hah, tunadaksa? Masih terdengar asing, ya?

Well, tunadaksa adalah kondisi di mana para penderitanya memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan struktur tubuh yang bersifat bawaaan, atau karena kecelakaan, dan kondisi lainnya. Fyi, gaes, saya sendiri adalah penyandang tunadaksa. Hehehe.

Oyaa, biasanya para guru di SLB-D memberikan edukasi dan terapi mengenai cara mengembangkan potensi diri, merawat diri dan tentunya merasa percaya diri dengan kondisi yang dialaminya.

5. SLB-E

SLB-E ditujukan bagi para penyintas tunalaras. Tunalaras adalah sebuah kondisi di mana seorang anak memiliki hambatan dalam mengendalikan emosi dirinya dan bertingkah laku kurang sesuai aturan.

Contoh sifat-sifat yang dimiliki seorang tunalaras sendiri adalah bersikap nggak sopan, suka mengganggu orang lain, mudah marah, membuat onar, dan lain-lain. Para tenaga pendidik di SLB-E akan membimbing para penyintas tunalaras agar mereka mampu mengendalikan emosi, mematuhi norma sosial hingga berperilaku yang baik dan sesuai aturan.

6. SLB-G

SLB-G ditujukan bagi para penyintas tunaganda. Sesuai namanya, tunaganda memiliki arti seseorang yang memiliki dua atau lebih kelainan dalam dirinya. Misalnya, seorang anak menderita tunanetra sekaligus tunarungu, tunanetra sekaligus tunalaras atau yang lainnya. Metode pembelajaran di SLB-G pun tergantung dengan kelainan yang diderita oleh setiap anak.

Bagaimana? Sekarang sudah lebih tahu, 'kan, macan-macam SLB yang ada di Indonesia?

***

Well, menurut saya, anak-anak berkebutuhan khusus bisa sekolah dimana saja—baik itu sekolah umum maupun SLB. Soalnya, pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus sudah diatur dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 pasal 32 yang berbunyi:

“Pendidikan khusus (pendidikan luar biasa) merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”

Itu berarti, hak mereka memperoleh pendidikan adalah sama dengan orang yang nggak berkebutuhan khusus. Anak-anak berkebutuhan khusus berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan nggak dibeda-bedakan dengan anak normal lainnya. Sayangnya, dalam penerapannya, memang di Indonesia sekolah untuk anak berkebutuhan khusus ini masih sangat dibedakan dengan anak-anak normal lainnya (segregatif).

Tapi tetap, nggak menutup kemungkinan anak berkebutuhan khusus bisa sekolah di sekolah umum. Apalagi di kota-kota besar saat ini mulai banyak sekolah yang aware dengan anak berkebutuhan khusus dan menerapakan sistem sekolahnya menjadi sekolah inklusif.

Sekolah inklusif sendiri adalah sekolah yang mengatur agar anak berkebutuhan khusus bisa dilayani di sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya, tanpa harus dikhususkan kelasnya. Sehingga, siswa yang berkebutuhan khusus dan yang nggak berkebutuhan khusus bisa belajar bersama dengan aksesibilitas yang mendukung untuk semua siswa tanpa terkecuali.

Dengan kata lain, sekolah inklusif itu jauh lebih baik daripada SLB. Soalnya, sekolah inklusif itu kondisinya heterogen dan anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah inklusif akan lebih mudah bersosialisasi dengan anak normal lainnya. Apalagi anak berkebutuhan khusus itu memang membutuhkan stimulus dari lingkungan sekitarnya. Mereka membutuhkan dukungan dari kawan lain biar bisa tumbuh dan berkembang dengan baik.

Lha, gimana kalau anak berkebutuhan khusus yang sekolah di sekolah umum sering di-bully?

Well, terkait apakah siswa berkebutuhan khusus rentan di-bully kalau bersekolah di sekolah umum atau nggak—semua itu bergantung pada pola asistensi, manajemen, serta perlindungannya.

Kalau pola asistensi, manajemen dan perlindungan anak berkebutuhan khusus dari pihak sekolah atau pihak keluarga itu bagus. Kemudian, anak-anak yang normal juga akan diberi pengertian dan selalu diingatkan oleh guru dan orang tua mereka bahwa anak berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama dalam pendidikan. Saya, yakin, sih, nggak akan ada masalah.

Intinya, kalau menurut saya, anak berkebutuhan khusus itu bisa, kok, bergabung dengan teman-teman normal lainnya di sekolah umum dengan kurikulum umum. Buktinya saya sendiri. Sejak masuk sekolah dasar hingga sekolah menengah saya selalu bersekolah di sekolah umum a.k.a saya nggak pernah sekolah di SLB. Hihihi.

Kalau ditanya apakah susah sekolah di sekolah umum dengan kondisi yang seperti ini? Iya, jelas sangat susahlah. Yang normal saja kadang merasa kesusahan mengikuti ritmenya sekolah, apalagi saya. Iya, ‘kan? Belum lagi kondisi sekolah di jaman saya dulu, sangat nggak inklusif sekali, nggak seperti sekolah-sekolah umum yang sudah memakai sekolah inklusif seperti saat ini. Jadi, memang butuh effort yang lebih besar dari teman-teman normal lainnya untuk bisa berada di titik ini.

Begitu pula dengan anak yang memiliki kelainan lainnya (tunawicara, tunanetra, dan lain-lain), mereka nggak harus masuk ke SLB langsung. Alangkah lebih baiknya kalau mereka melakukan tahap assessment terlebih dahulu sebelum masuk ke sekolah. Dimana tahapan ini yang menentukan apakah mereka harus masuk sekolah khusus dengan kurikulum khusus, guru khusus dan kelas khusus.

Kalau hasilnya menyatakan mereka harus masuk sekolah khusus dengan kurikulum khusus, guru khusus dan kelas khusus, maka mereka harus bersekolah di SLB. Sebaliknya, kalau hasilnya menyatakan mereka nggak harus masuk sekolah khusus dengan kurikulum khusus, guru khusus dan kelas khusus, maka (menurut saya) mereka bisa dikasih kesempatan buat sekolah di sekolah umum.

Sayangnya, di Indonesia, belum punya assessment yang seperti itu. Sebab, masyarakat dan dunia pendidikan memang belum ramah terhadap anak berkebutuhan khusus. Dan tantangan menjadi sekolah inklusif saat ini adalah tenaga pendidik yang berkompeten di bidang ini masih sangat kurang.

That’s why, untuk memperbaiki kondisi ini, penilain negatif masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus harus diubah terlebih dahulu—agar tugas pemerintah yang berbunyi: ”mencerdaskan kehidupan anak bangsa” bisa terwujud kepada semua anak yang ada Indonesia, tanpa adanya diskriminasi.

 

Baca juga:

 

(Sumber gambar: iowaschoolforthedeaf.org, independent.co.uk, oaklodge.wandsworth.sch.uk, parenting.firstcry.com, kut.org, verywellmind.com, youtube.com)

POPULAR ARTICLE
LATEST COMMENT
syakila putri | 13 hari yang lalu

terimakasih atas informasinya. kunjungi website kami untuk informasi lebih lanjut https://unair.ac.id/

Bedah Peluang, Daya Tampung, serta Biaya Kuliah Jurusan Kedokteran dan Kedokteran Gigi Terbaik di Perguruan Tinggi Negeri
Muhamad Rifki Taufik | 23 hari yang lalu

4 Langkah menulis naskah film yang sangat bagus untuk mengembangkan skill penulisan saya. Terima kasih untuk ilmu yang bermanfaat.

4 Langkah Menulis Naskah Film yang Baik Bagi Pemula
Al havis Fadilla rizal | 2 bulan yang lalu

Open pp/endorse @alfadrii.malik followers 6k minat dm aja bayar seikhlasnya geratis juga gpp

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 2 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 11,6 followers dm ya bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 2 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 1,6 followers dm ya, bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Dibuat dan dikembangkan di Jakarta, Indonesia Hak Cipta Dilindungi 2015 - 2024 PT Manual Muda Indonesia ©
Rencanamu App

Platform Persiapan Kuliah & Karir No 1