Sisi Plus dan Minus Gap Year—Memang Bermanfaat, atau Cuma Buang-Buang Waktu dan Uang?
- May 17, 2016
- Nadia Fernanda
Kalau suka ngikutin berita, pasti kamu udah tahu, dong, berita tentang Malia Obama yang memutuskan untuk menjalani gap year dulu sebelum mulai kuliah di Harvard tahun depan?
Tapi, kamu tahu nggak, sih, apa itu sebenarnya gap year?
Menurut Wikipedia, gap year adalah “cuti”—entah itu beberapa bulan, setahun, atau bahkan lebih—yang dilakukan setelah seorang pelajar lulus dari sekolah menengah atas, sebelum dia melanjutkan studi ke tinggi (atau ke dunia kerja). Ibarat kata, “cuti sekolah” dulu.
Tren gap year dimulai dari negara-negara Eropa—Pangeran William, Benedict Cumberbatch, dan J.K. Rowling adalah contoh orang yang dulu juga ngambil gap year, lho!—sebelum akhirnya ikutan ngetren di Amerika.
J.K. Rowling, penulis beken yang pernah mengambil gap year semasa mudanya
Gap year sangat umum dilakukan oleh anak-anak muda di negara Barat, dan gap year biasanya diisi dengan berbagai cara, misalnya, mengambil kursus keterampilan, bekerja part time atau full time, magang, volunteer, travelling, dan sebagainya.
Konsep gap year sendiri memang nggak femes di kalangan anak muda Indonesia. Nggak heran, sih, soalnya kebanyakan lulusan SMA di Indonesia ngebet banget pengen kuliah secepatnya, meskipun kadang mereka belum tahu mau kuliah dimana dan di jurusan apa (nah, lho). Pokoknya, yang penting judulnya “gue kuliah”! Padahal nyatanya gaswat pisan, ‘kan, kalau kamu sampai salah jurusan?
Sisi Plus Gap Year
Gap year umumnya dianggap sebagai masa pendewasaan diri, karena pada masa tersebut, anak-anak muda mulai meninggalkan rumah mereka dan belajar hidup mandiri. Selama gap year, mereka nggak sekedar melakukan apapun yang mereka sukai, tetapi juga membekali diri dengan kemampuan dan keterampilan yang nggak mereka dapatkan di bangku sekolah.
Dengan kata lain, gap year nggak hanya sekedar “cuti sekolah”, karena gap year bisa membuat kamu mengenal diri kamu sendiri dengan lebih dalam, dengan cara mendalami hal-hal yang kamu minati, atau justru melakukan hal-hal baru di luar comfort zone kamu.
Kalau kamu termasuk calon mahasiswa yang masih galau tentang jurusan kuliah dan tujuan hidup kamu, mungkin kamu bisa mempertimbangkan untuk mengambil “cuti kuliah” ala gap year ini, lalu ikut program magang atau kursus tertentu untuk mengkeksplor minat dan bakat kamu. Pertanyaan sesimpel “gue mau kuliah jurusan apa” pun bisa terjawab dengan tepat, lho, dengan gap year ini.
Travelling selama gap year juga oke banget untuk membuka mata dan menambah wawasan kamu tentang dunia. Ingat artikel Youthmanual tentang alasan kenapa kamu harus sering jalan-jalan, dan pentingnya pengalaman multikultural? Nah, dua hal berharga tersebut bisa kamu dapatkan dengan jalan-jalan keliling dunia di masa muda.
Trus, gap year juga bisa melatih kamu hidup mandiri dan nggak tergantung dengan orang lain. Adulting is hard, gaes! Kamu bakal harus bertanggung jawab atas banyak hal, nyari duit untuk memenuhi kebutuhan, dan merawat diri kamu sendiri. Sebagai gambaran, kamu bisa hura-hura sampai subuh. Nggak ada yang peduli. Tapi ketika kamu sakit, nggak ada yang peduli juga. Being an adult takes a lot, both physically and mentally.
Nah, setelah kamu sempat ngejalanin gap year, dijamin kamu bakal menahan diri minta uang ke orang tua, karena kamu jadi sadar, bahwa cari duit itu susah!
Sisi Minus Gap Year
Di sisi lain, memilih untuk menjalani gap year juga ada sisi nggak enaknya. Pertama, setelah kamu selesai gap year dan akhirnya masuk kampus, bisa aja kamu jadi nggak siap untuk kembali belajar secara formal, karena terbiasa mencari ilmu dan pengalaman di luar kampus. Setelah “mencari jati diri” selama sekian bulan, mungkin otak kamu udah lupa sama aljabar atau ilmu biologi yang diperlukan untuk ujian saringan masuk universitas. Mau nggak mau harus kebut bimbel lagi, deh.
Lalu, bayangkan berapa biaya yang akan kamu keluarkan selama gap year! Meskipun bersifat membangun, tapi beberapa aktivitas yang kamu lakukan selama gap year tentunya butuh biaya, seperti biaya kursus, dan pelatihan. Trus, kalau kamu magang pun, belum tentu kamu digaji. Jadi, walaupun kamu bekerja, kondisi dompet, sih, tetap kondisi dompet pengangguran. Sedih!
Belum lagi kalau kamu ambil opsi travelling. Dompet kamu mesti kuat, sob! Kalau kamu beruntung, kamu bisa mendapat sponsor atau ikut program pertukaran pelajar. Kalau nggak? Ya, alamat melarat. Pantas aja, sih, kalau cuma anak-anak “golongan tertentu” aja yang bisa melakukan gap year *ehemMaliaObamaehem*. Everything comes with a price, right?
Last but not least, gap year bisa dipandang negatif di Indonesia, karena stigma pendidikan yang, ehem, agak salah di negara ini. Maklumlah, Indonesia ‘kan lebih menghargai prestasi akademis daripada ilmu yang didapat di dunia luar. Sehingga, orang tua bisa menuduh kamu malas, dan gelisah karena kamu nggak buru-buru kuliah. Malah memilih jadi “pengangguran” dulu selama kuliah!
So, di luar trade off biaya, waktu dan pengalaman, masalahnya bukan apakah gap year applicable atau nggak di Indonesia, ya, gaes. Tapi balik lagi ke diri kamu sendiri—apakah kamu bersedia dan sanggup untuk mengembangkan diri kamu lewat gap year ini, yang jarang dilakukan oleh anak-anak muda Indonesia lainnya?
(sumber gambar: weneedtolivemore.com, andpop.com, teenlife.com, knowlondon.co.uk)
Kategori
gimana? udh wisuda?
Ciri-Ciri Proposal Skripsi yang Baik dan Berkualitas (dan Nggak Bakal Bikin Kamu Dibantai Dosen Penguji)ka mau tanya kalo dari smk keehatan apa bisa ngambil kedokteran hewan?
Mengenal Lebih Dekat Dengan Program Studi Kedokteran HewanKak, ada ga univ yang punya jurusan khusus baking and pastry aja?
5 Program Studi yang Cocok Buat Kamu yang Suka Makanansemangat terusss https://sosiologi.fish.unesa.ac.id/
5 Jurusan yang Diremehkan, Tetapi, Memiliki Prospek Kerja yang Bagussemoga selalu bermanfaat kontennya https://sosiologi.fish.unesa.ac.id/
5 Jurusan yang Diremehkan, Tetapi, Memiliki Prospek Kerja yang Bagus