Profesiku: Penerjemah Lisan Bahasa Jepang, Ferlinton Waldo

Dalam seri "Profesiku", kamu bisa kenalan dengan berbagai profesi, lewat cerita para senior yang menekuninya. Kali ini, yuk, kenalan dengan profesi penerjemah bahasa Jepang, bersama Ferlinton Waldo!

Ferlinton Waldo (29 tahun) alias Kak Edo adalah seorang interpreter (penerjemah lisan) spesialis bahasa Jepang, dan kadang bekerja sebagai event coordinator juga. Edo adalah lulusan S1 Sastra Jepang, angkatan 2005, di Universitas Indonesia. Ternyata ada banyak banget aspek dari profesi Penerjemah yang nggak disangka-sangka, lho, dan semuanya menarik banget. Simak, yuk!

Profesiku:

“Gue adalah seorang interpreter (penerjemah lisan) spesialis bahasa Jepang, dan kadang bekerja sebagai event coordinator juga."

Tugas seorang penerjemah:

"Penerjemah ada dua macam. Ada interpreter, ada translator. Beda kedua profesi ini adalah produk dari terjemahannya. Interpreter adalah penerjemah lisan, sementara translator adalah penerjemah tulisan atau teks."

Apa, sih, perbedaan antara interpreter dengan translator?

"Perbedaan yang mencolok adalah waktu menerjemahkannya. Saat mengerjakan suatu proyek, waktu kerja seorang translator bisa lama. Misalnya, seminggu atau sebulan, tergantung produk materi yang dia terjemahkan. Kalau dia menerjemahkan sebuah novel, misalnya, yah pengerjaannya bisa berbulan-bulan. Kalau dia membuat terjemahan/subtitle film, mungkin bisa 1-2 hari aja.

Sementara waktu “kerja” seorang interpreter singkat sekali, karena dia menerjemahkan detik itu juga, alias secara real time. Misalnya, menerjemahkan penutur asing di seminar, atau business meeting."

Katanya pekerjaan interpreter juga terbagi dua, ya?

"Iya, pekerjaan interpreter juga terbagi dua berdasarkan cara menerjemahkannya, yaitu simultaneous interpreting dan consecutive interpreting.

a. Simultaneous interpreting. Biasanya digunakan untuk acara-acara seminar bisnis, dimana si interpreter akan duduk di suatu bilik atau booth, pakai headphone. Dari headphone tersebut, dia akan mendengar bahasa sumbernya dari kliennya.

Misalnya, gue jadi Simultaneous Interpreter di sebuah seminar yang dihadiri oleh para delegasi dari sejumlah negara, dan gue bekerja untuk menerjemahkan seorang delegasi asal Jepang. Orang Jepang tersebut tentunya akan bicara dalam bahasa Jepang. Maka gue akan mendengarkan omongan dia lewat headphone, lalu gue terjemahkan ke bahasa Indonesia lewat mikrofon ke, misalnya, para delegasi Indonesia.

Kalau menurut gue, pekerjaan simultaneous interpreting cukup ekstrim, karena kita—sebagai penerjemah—harus menerjemahkan secara real time. Jadi si penerjemah harus punya wawasan, kira-kira pembicara asingnya akan bicara tentang apa aja.

Simultaneous Interpreter biasanya nggak dikasih kisi-kisi atau naskah terlebih dahulu.  Paling cuma dikasih dokumen, atau informasi tema seminarnya apa. Misalnya, gue diinfokan bahwa tema seminarnya keuangan. Jadi pasti yang akan keluar adalah berbagai terminologi seputar keuangan. Ya, udah, siap-siap, deh, buat hari-H.

b. Consecutive interpreting. Consecutive interpreting mungkin agak lebih mudah, karena si pembicara akan bicara dulu, misalnya 2-3 kalimat, lalu dia akan berhenti sebentar untuk kasih jeda. Baru si interpreter akan menerjemahkannya.

Sebenernya ini menerjemahkan secara real time juga, cuma ada jedanya sedikit.

Seminar kebanyakan menggunakan simultaneous interpreting (real time), sementara business meeting lebih banyak menggunakan consecutive.

Gue sendiri lebih cenderung ke consecutive interpreter lapangan. Misalnya, untuk keperluan syuting."

Apa modal keahlian yang harus dimiliki seorang penerjemah?

"Mungkin orang akan mengira modalnya adalah “kemampuan berbahasa”, ya. Mulai dari kemampuan tata bahasa, kosa kata, dan sebagainya.

Namun sebenarnya, kita juga harus punya wawasan segi budaya yang luas. Misalnya, sebagai penerjemah Jepang, oke gue bisa bahasa Jepang.  Tetapi pengucapan sebuah kalimat sederhana pun artinya bisa punya beberapa makna yang berbeda, kalau diucapkan dengan dialek yang berbeda-beda.

Jadi, kita harus puny kemampuan memahami dialek. Secara umum, di Jepang ada dialek Tokyo atau Tokyo-ben (dibaca “beg”), dan dialek Osaka atau Osaka-ben.

Dua dialek ini bisa memberikan makna yang jauh berbeda, lho!

Bahkan ada dialek yang susah dipahami oleh orang Jepang sendiri, namanya Zuzu-ben. Kalau nggak salah, asalnya dari daerah utara. Gue lupa, deh. Mungkin Sendai atau apa, gitu.

Dan untuk memahami dialek, tentunya kita harus paham konteks budayanya juga. Semua itu akan mempengaruhi makna bahasa yang kita terjemahkan.

Trus, kita juga harus paham ungkapan atau idiom.

Banyak idiom Jepang yang mirip dengan idiom Indonesia, lho. Peribahas “Setinggi-tinggi tupai melompat…” itu ada versi Jepangnya, cuma binatangnya beda. Bisa tupai, bisa kodok, hehehe. Lucu, ya.

Selain itu, penting juga untuk memiliki keahlian membaca konteks. Kita harus “sensitif” dalam memahami, sebenarnya yang ingin disampaikan oleh si penutur, tuh ,apa."

Kalau sifat yang penting untuk dimiliki penerjemah apa, sih?

"Kalau menurut gue pribadi—mudah beradaptasi. Sebagai penerjemah, kita ‘kan banyak berurusan atau berhubungan dengan individu-individu lain. Jadi kita harus bisa beradaptasi dan mau cari tahu, individu yang akan kerja bareng kita (baca: mitra tutur) orangnya seperti apa. Jadi nanti kita paham, bagaimana cara menerjemahkan omongannya dengan enak.

Jadi saat baru kenalan dengan mitra tutur pun, gue berusaha untuk langsung menganalisa—orang ini seperti apa, sih? Coba baca karakternya, gitu.

Contohnya, nih.

Gue pernah kerja di sebuah percetakan Jepang yang berlokasi di Indonesia, sebagai penerjemah perusahaan. Pada suatu waktu, orang Jepangnya marah ke para karyawannya, yang notabene orang-orang Indonesia. Waktu itu, gue harus menerjemahkan omongan marah-marah orang Jepang tersebut.

Tapi gue khawatir, kalau omongan orang Jepang tersebut gue terjemahkan plek-plek, para karyawan akan tersinggung. Sebagai informasi, orang Jepang tersebut adalah orang Osaka. Nah, orang Osaka nih temperamennya keras. Kalau bicara biasa aja, nadanya tinggi. Kalau marah, jadi lebih tinggi lagi!

Jadi, saat menerjemahkan, sebisa mungkin gue “melembutkan” omongan orang Jepang ini. Gue nggak terlalu blak-blakan “menunjukkan” ke para karyawannya, bahwa sebenarnya bos mereka sedang marah banget. Yang penting, intinya omongannya orang Jepang tersebut tersampaikan.

Sekali lagi, kita harus bisa baca karakter dan situasi.

Penerjemah ‘kan sebenarnya semacam mediator, bahkan peacemaker. Pekerjaan kita adalah menyambungkan dua negara, dua bahasa, dua budaya dengan baik."

Apa hal-hal yang disukai dari profesi ini?

"Gue jadi tahu berbagai macam bidang. Sebagai penerjemah, kita seringkali harus terjun ke bidang yang kita sama sekali asing buat kita. Gue dulu pernah harus terjun ke industri maskapai penerbangan, industri hiburan, industri percetakan sampai industri kimiawi, tepatnya perusahaan pengolahan limbah cair yang mau mempraktekan teknologinya di Indonesia.

Semuanya menantang, tapi sangat membuka wawasan.

Misalnya, pas harus terjun di perusahaan pengolahan limbah cair dulu, gue sempat bingung banget, dengan segala istilah teknisnya. Mana gue bodoh banget di pelajaran IPA! Tapi mau nggak, harus gue pelajarin. Tapi gue juga senang bisa “mengintip” teknologi pengolahan limbah Jepang yang canggih banget.

Sewaktu gue kerja di perusahaan percetakan, gue jadi belajar proses produksi printing. Gue sampai paham, lah, mengoperasikan mesin cetak, hehehe.

Dari industri advertising dan entertainment, gue sering mendapatkan banyak ide baru, dan gue jadi tahu, Oh, sekarang konten yang lagi hot di Indonesia tuh begini… Oh, event yang bagus tuh begitu…” Inspiring banget, lho.

Intinya, sebagai penerjamah, gue nggak hanya sering dapat kesempatan belajar gratis, tapi bahkan dibayar!"

Tantangan profesi ini?

"Tantangannya adalah, sejauh mana kita bisa memahami dan menerjemahkan bidang atau perusahaan yang bekerja dengan kita

Misalnya, seperti saat gue bekerja dengan perusahaan pengolahan limbah cair tadi. Gue harus paham, perusahaan ini bergerak di bidang apa? Mesin-mesin yang mereka ciptakan itu apa? Buat masyarakat Indonesia, apa merit atau “kebaikan” dari perusahaan ini?

Ibaratnya, gue harus bisa jadi sales atau tenaga marketing perusahaan yang bekerja dengan gue, karena gue harus memahami mereka luar dalam.

Saat gue menjadi penerjemah, gue harus bisa menjadi pihak yang gue terjemahkan. Bahkan gue harus mengubah persona gue menjadi persona klien gue.

Gue pernah mendapat klien Narita International Airport di Tokyo. Tugas gue adalah menjelaskan kepada travel agent di Indonesia, tentang fasilitas-fasilitas terbaru Narita.

Pihak Naritanya, sih, cuma memberikan brief atau kisi-kisi berupa fakta-fakta aja. Misalnya, ada fasilitas capsule hotel, harganya sekian, ada coin shower-nya, dan sebagainya. Tetapi sebagai penerjemah yang baik, gue berusaha untuk menyampaikannya dengan bersemangat dan menjual.

Jadi misalnya, gue bilang, “Di Narita sekarang ada capsule hotel, lho! Jadi wisatawan bisa menginap dulu di hotel! Dan dengan fasilitas shower, kita bisa bebersih dulu sebelum pulang. Seru ‘kan?”

Gue suka, sih, menjiwai peran seperti ini. Hampir seperti seni akting, ya.

Beratnya menjadi penerjemah adalah dari segi tanggung jawab. Gue selalu mempertanyakan diri gue sendiri, apakah gue bisa 100% menyampaikan maksud dari si mitra tutur gue? Ketika gue membuat kesalahan dan nggak sempat mengoreksinya—misalnya, karena mitra tuturnya keburu pergi—rasanya gemes banget!

Tapi tentunya gue jadi belajar dari setiap kesalahan, dan berusaha nggak mengulanginya dengan mitra tutur berikutnya. Jadi proses pembelajaran seorang penerjemah justru banyak terjadi di tengah kariernya.

Sebelum hari H, biasanya penerjemah ikut meeting dulu, walaupun saat meeting pertama tersebut, kita belum tentu langsung ketemu dengan mitra tuturnya. Palingan perwakilan perusahaannya dulu.

Walaupun gue selalu berusaha mempersiapkan diri dulu sebelum ketemu klien—misalnya, dengan mempelajari perusahaannya sebaik mungkin—kadang penerjemahannya di hari H juga nggak lancar 100%. Ada aja hal baru yang harus ditambahin. Tapi dari sini, kita bisa terus terus berkembang dan belajar."

Prospek kerja penerjemah—khususnya penerjemah bahasa Jepang—di Indonesia?

"Sebenarnya besar, karena belakangan ini, perusahaan Jepang dari berbagai bidang mulai melirik Indonesia. Pokoknya Japan invasion, lah. Mulai dari bidang pariwisata, teknologi, transportasi, hiburan, dan sebagainya.

Gue beberapa kali handle acara Japan Travel Fair. Di acara travel fair begitu, banyak, lho, daerah-daerah di Jepang yang membawa pariwisata mereka, dan bukan daerah-daerah yang sudah beken seperti Kyoto atau Osaka. Misalnya, Yamanashi.

Waktu itu, pernah dalam satu periode, ada 1,000 orang dari Jepang datang ke Indonesia. Seribu orang! Kebetulan, sedang ada acara travel fair dan beberapa seminar bersamaan. Stok penerjemah Jepang di Indonesia sampai habis!

Perusahaan retil Jepang yang masuk ke Indonesia juga bukan hanya yang besar-besar seperti AEON, Muji atau Uniqlo, tetatpi juga venture-venture kecil seperti perusahaan fashion Otoko.

Bahkan dua talent agency terbesar di Jepang, Amuse dan Yoshimoto, juga buka cabang di Indonesia, dan mereka pernah membawa beberapa talent komedian mereka untuk homestay di Indoneesia. Tujuannya untuk memperkenalkan budaya lawak Jepang.

Sebenarnya dari dulu, konten-konten dari Jepang mudah diterima di Indonesia. Lihat aja komik atau kartun Jepang yang dari dulu sudah populer di sini. Makanya, perusahaan-perusahaan Jepang—khususnya entertainment—banyak berinvestasi di Indonesia.

Intinya, prospek pekerjaan penerjemah Jepang di Indonesia cerah, karena Japan invasion semakin besar."

Tips untuk anak-anak muda yang ingin menekuni profesi ini?

"Dalam menerjemahkan, kita bisa luwes. Jadi nggak harus kaku banget, selalu menerjemahkan sang mitra tutur secara “letterlek”, kata per kata. Malah kita harus coba menyampaikan “feel” sang mitra tutur juga.

Saat menerjemahkan, kadang-kadang gue malah sampai merasa jadi sang pembicara, saking menjiwainya. Kalau si pembicara ngomongnya berapi-api, ya gue juga jadi berapi-api. Kalau si pembicara ngomongnya smooth, ya gue ngomongnya smooth juga.

Kadang-kadang bisa sampai baper juga, sih, karena terbawa perasaan atau sifat si pembicara. Tapi hal ini baik, kok, supaya pesan dari si pembicara tersampaikan ke audiens-nya.

Tips yang nggak kalah penting adalah, supaya karier kita lebih maju, kita harus punya “second skill”. Jadi meskipun skill utama kita adalah menerjemahkan, lebih baik kita juga punya kemampuan lain. Misalnya, jadi penerjemah sekaligus Account Executive, atau jadi penerjemah sekaligus event organizer seperti gue. Skill-nya bisa apapun, lah. Dengan begitu, “nilai jual” kita jadi makin tinggi."

Harus diingat, tugas penerjemah bukan hanya menerjemahkan bahasa, tetapi lebih ke “menjembatani budaya”.

(sumber gamabr: Laila A.)

POPULAR ARTICLE
LATEST COMMENT
Allysa Kamalia Putri | 2 bulan yang lalu

ka mau tanya kalo dari smk keehatan apa bisa ngambil kedokteran hewan?

Mengenal Lebih Dekat Dengan Program Studi Kedokteran Hewan
Nina Syawalina | 2 bulan yang lalu

Kak, ada ga univ yang punya jurusan khusus baking and pastry aja?

5 Program Studi yang Cocok Buat Kamu yang Suka Makanan
AVERILIO RAHARJA | 3 bulan yang lalu

semangat terusss https://sosiologi.fish.unesa.ac.id/

5 Jurusan yang Diremehkan, Tetapi, Memiliki Prospek Kerja yang Bagus
Averilio Raharja | 3 bulan yang lalu

semoga selalu bermanfaat kontennya https://sosiologi.fish.unesa.ac.id/

5 Jurusan yang Diremehkan, Tetapi, Memiliki Prospek Kerja yang Bagus
Dibuat dan dikembangkan di Jakarta, Indonesia Hak Cipta Dilindungi 2015 - 2024 PT Manual Muda Indonesia ©
Rencanamu App

Platform Persiapan Kuliah & Karir No 1