Apa yang Bisa Dipelajari Oleh Jurnalis dan Media Zaman Sekarang dari Film Spotlight

Udah nonton Spotlight, film yang dinobatkan sebagai Best Picture di Academy Awards 2015?

Buat yang belum sempat nonton film yang diadaptasi dari kisah nyata tersebut, berikut ringkasannya, ya:

The Boston Globe adalah koran lokal di kota Boston, Amerika Serikat. Koran ini punya tim jurnalis investigasi bernama Spotlight, yang terdiri dari empat orang. Tim ini khusus melakukan reportase-reportase mendalam untuk berita-berita “berat”. Saking beratnya, kalau tim Spotlight lagi menggarap sebuah berita, pengerjaannya bisa sampai berbulan-bulan, lho!

Tahun 2001, bos baru The Boston Globe, Marty Baron, sempat membaca sebuah kolom tentang seorang pengacara yang bikin pernyataan bahwa kepala uskup di Boston, Kardinal Bernard Law, tahu bahwa salah seorang pendeta Katolik di Boston, John Geoghan, rutin mencabuli dan memperkosa anak-anak muda umur 10-12 tahun, tapi nggak berbuat apa-apa.

Baron tertarik banget dengan skandal tersebut, dan menugaskan tim Spotlight untuk menginvestigasinya lebih jauh.

Nah, film ini bercerita tentang perjalanan tim Spotlight mengulik, menginvestigasi, dan memastikan fakta-fakta seputar skandal pedofilia pendeta-pendeta Boston tersebut. Investigasi ini berjalan selama berbulan-bulan, sampai akhirnya beritanya diterbitkan pada awal tahun 2002.

spotlight film youthmanual

Tokoh Marty Baron (kedua dari kiri) bersama Spotlight, tim jurnalis investigasi koran lokal, The Boston Globe

Karena investigasi yang dilakukan tim Spotlight ini “dalam” dan tajam, hasilnya pun luar biasa. Mereka menemukan bahwa dari tahun 1980-an sampai awal tahun 2000-an, ada sekitar 80 pendeta di Boston yang pernah mencabuli sekitar 1,000 orang anak. Pendeta John Geoghan sendiri ternyata pernah mencabuli 130 anak!

Banyak banget pihak yang tahu soal ini—termasuk pihak gereja, keuskupan, polisi, dan pengacara—tapi mereka semua diam aja, gaes! Pendeta-pendetanya pun nggak pernah dipecat, apalagi dicekal. Pihak gereja malah menyuap keluarga para korban pencabulan, supaya pada nggak bicara.

Semua ini direportasekan oleh tim Spotlight untuk koran The Boston Globe. Perjuangan mereka untuk melakukan reportase ini ampun-ampunan, tetapi ketika beritanya terbit, efeknya juga ampun-ampunan. Sampai-sampai, setelah beritanya terbit, muncul laporan-laporan susulan yang mengungkapkan skandal seks pendeta-pendeta Katolik lainnya di puluhan negara. It was one of the biggest scandals circa 2002.

***

Di sini saya bukan mau membahas skandal tersebut, nge-review film Spotlight, apalagi bicara soal agama. Saya mau membahas tentang apa yang bisa dipelajari oleh media, jurnalis atau jurnalis Indonesia zaman sekarang dari film ini.

Apa, sih, kelemahan berita (online) zaman sekarang?

Bagi saya, gaya investigasi yang dilakukan tim Spotlight terbalik banget dengan gaya reportase media zaman sekarang, terutama media online. Perhatiin, deh. Apa, sih, goal utama media zaman sekarang? Goal-nya adalah menerbitkan berita sebanyak dan secepat mungkin. Mereka malah saling berkompetisi keras untuk dulu-duluan memberitakan breaking news.

Akibatnya, para jurnalis musti menyusun berita dengan terburu-buru. Boro-boro bisa mengumpulkan bukti-bukti akurat untuk mendukung berita mereka. Tulisannya aja sering typo gara-gara terburu-buru!

Alhasil, semakin banyak artikel nggak bermutu wara-wiri di portal berita online, dan jujur, saya capek banget bacanya.

fatin shidqia

Penyanyi Fatin Shidqia dibilang kuliah di London, padahal maksudnya di London... School of Public Relations, Jakarta! Yaelah!

Bagi saya, beberapa ciri artikel nggak bermutu adalah,

a) tulisannya typo melulu,

b) beritanya dangkal, alias nggak menggugah perasaan atau berpengaruh besar untuk kepentingan orang banyak,

c) beritanya nggak valid, karena nggak didukung oleh fakta yang kuat dan akurat,

d) beritanya nggak kredibel, karena fakta-faktanya cuma modal copy-paste dari berbagai sumber di Internet, tanpa dicek ulang kebenarannya,

e) mirip, bahkan sama persis, dengan artikel media sebelah. In other words, benar-benar copy-paste, cyin!

Kualitas berita sekarang menurun karena jurnalisnya malas, atau pembacanya malas?

Kenapa, sih, artikel-artikel nggak bermutu seperti itu yang sekarang justru banyak bertebaran?

Menurut saya, sih, utamanya gara-gara pembaca. Lho, kok, pembaca? Iya. Pembaca zaman sekarang lebih mengapresiasi newness—alias kebaruan—sebuah berita dibandingkan kredibilitasnya. Trus, semakin sensasional headline sebuah berita, pembaca juga semakin suka.

Selain itu, gara-gara terbiasa fast reading berita online yang pendek-pendek di gadget, pembaca zaman sekarang susah fokus membaca berita yang panjang. Istilah kerennya, mereka jadi punya short-attention span. Bahkan pembaca seringkali mem-forward sebuah berita, ketika baru baca judulnya saja.

Last but not least, pembaca zaman sekarang pun kurang kritis dan kurang rajin memverifikasi hal-hal yang mereka baca di media online. Hal ini tentunya membuat media semakin malas. Lah, wong nggak dikritik?

Nggak heran kalau artikel-artikel zaman sekarang—terutama di media online—jadi semakin sering tayang, semakin pendek, tetapi isinya semakin ringan dan sering nggak kredibel. Jurnalis pun sering mencomot sumber informasi sana-sini dari Internet, trus nggak di-verifikasi.

Sekarang banyak, lho, jurnalis media online yang mengetik reportase mereka di ponsel ketika liputan, untuk langsung diterbitkan di media masing-masing. Mana sempat tulisan mereka dicek ulang oleh editor? Yang penting bisa ditayangkan secepatnya, sob!

Saya sempat ngobrol dengan Pani, seorang teman yang kerja di sebuah koran nasional. Dia bilang, “Gue sepakat, kalau jurnalisme investigasi sekarang ini jauh lebih lemah daripada dulu. Di kantor gue pun begitu. Kami punya desk investigasi, sih, cuma, ya, timbul tenggelam.

Dulu desk investigasi harus menerbitkan artikel investigasi seminggu sekali setiap Senin, tapi sekarang jadi kendor (nggak terbit setiap Minggu). Alasannya, pertama, karena terbentur waktu. Mereka nggak punya cukup waktu untuk melakukan investigasi yang mendalam. Kedua, karena nggak semua kasus skandal bisa ditulis. Ada banyak benturan kepentingan.”

Soal benturan kepentingan, hal tersebut udah hampir pasti terjadi kalau sebuah media mau mengangkat berita kontroversial. Di film Spotlight, tim Spotlight juga menginvestigasi dengan “matang”. Walaupun mereka udah punya cukup banyak bukti, mereka menahan beritanya supaya nggak buru-buru terbit. Mereka kepengen mendapatkan lebih banyak bukti lagi, sehingga fakta-fakta beritanya bisa sesempurna mungkin.

Sehingga ketika beritanya terbit, argumen mereka kuat banget, sampai-sampai nggak bisa dibantah atau di-counter oleh pihak lain.

Padahal, kualitas itu pasti akan sepadan sama usahanya, kok!

Saya nggak munafik. Saya sendiri sering, kok, nulis artikel bermodalkan ngulik Internet doang, gara-gara malas turun ke lapangan, “pengen tahu beresnya”, dan gara-gara dikejar deadline oleh atasan. Bahkan sejak kuliah, sumber informasi utama saya untuk paper atau makalah adalah Internet. Padahal itu dulu, lho, sewaktu informasi di Internet nggak sebanyak dan seberagam sekarang.

Meskipun begitu, saya “trenyuh” banget dengan gaya jurnalisme old school yang ditampilkan dalam film Spotlight. I was moved. Setelah nonton, saya jadi kepengeeeen banget kembali merasakan era ketika jurnalis punya cukup waktu untuk melakukan reportase yang lengkap dan menyeluruh. Saya kepengen banget kembali ke era ketika masyarakat lebih menghargai kualitas berita. Saya kepengen banget kembali ke era ketika masyarakat mau membaca dengan lebih sabar. Beneran, lho!

Padahal quality always pays off, kok. Maksudnya, kualitas itu pasti akan sepadan dengan usahanya, kok. Gara-gara reportase skandal ini, The Boston Globe menang penghargaan Pulitzer tahun 2003, untuk kategori Public Service, lho!

Selain itu, berita skandal tersebut ‘kan sebenarnya udah “basi” alias nggak baru. Bahkan skandal itu pertama kali terungkap 10 tahun sebelum digarap tim Spotlight. Tetapi karena tim Spotlight mengangkat kembali berita tersebut dengan fakta-fakta yang amat sangat kuat, beritanya pun jadi fresh lagi.

Duh, ada BANYAK banget, lho, kasus-kasus nggak tuntas di Indonesia yang harus di re-visit oleh media seperti itu. Kasus skandal Bank Century? Pembunuhan Angeline? Nggak terhitung!

Jangan remehkan media lokal!

Hal lain yang bisa kita pelajari dari film Spotlight adalah… jangan remehkan media dan berita lokal!

Umumnya, masyarakat cenderung lebih pay attention kepada media-media “top” berskala nasional. Kalau di Indonesia, mungkin seperti koran Kompas atau majalah Tempo, ya. Kalau di Amerika Serikat, ada The Guardian and The Times.

Nah, film Spotlight menunjukkan bahwa media lokal sebenarnya nggak kalah penting. The Boston Globe sendiri ada koran lokal kota Boston, yang pada akhirnya menjadi pusat perhatian dunia berkat berita skandal pencabulan tersebut.

Artinya, kalau mencari berita, jangan lewatkan media-media lokal ya, gaes, karena media lokal seringkali memberitakan cerita-cerita yang lebih relevan di lingkungan kamu.

***

Ada banyaaaaak banget perubahan terjadi di masyarakat karena gerakan-gerakan masif, seperti demonstrasi, unjuk rasa, bahkan perang. Tapi ada juga perubahan yang terjadi semata-mata karena ada kebenaran yang terungkap, termasuk kebenaran yang dibuka oleh jurnalis.

Kalau kamu punya cita-cita jadi jurnalis, jangan pernah lupain prinsip jurnalisme dari film Spotlight ya, gaes :)

(sumber gambar: independent.co.uk, nextbiteoflife.com, delmarvalife.com, rhinopress.org, telegraph.co.uk)

POPULAR ARTICLE
LATEST COMMENT
syakila putri | 24 hari yang lalu

terimakasih atas informasinya. kunjungi website kami untuk informasi lebih lanjut https://unair.ac.id/

Bedah Peluang, Daya Tampung, serta Biaya Kuliah Jurusan Kedokteran dan Kedokteran Gigi Terbaik di Perguruan Tinggi Negeri
Muhamad Rifki Taufik | 1 bulan yang lalu

4 Langkah menulis naskah film yang sangat bagus untuk mengembangkan skill penulisan saya. Terima kasih untuk ilmu yang bermanfaat.

4 Langkah Menulis Naskah Film yang Baik Bagi Pemula
Al havis Fadilla rizal | 2 bulan yang lalu

Open pp/endorse @alfadrii.malik followers 6k minat dm aja bayar seikhlasnya geratis juga gpp

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 3 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 11,6 followers dm ya bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 3 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 1,6 followers dm ya, bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Dibuat dan dikembangkan di Jakarta, Indonesia Hak Cipta Dilindungi 2015 - 2024 PT Manual Muda Indonesia ©
Rencanamu App

Platform Persiapan Kuliah & Karir No 1