Bercermin dari Pernyataan Menaker Soal Sarjana di Indonesia Nggak “Siap Pakai”: Anak Muda Harus Gimana?
- Sep 15, 2017
- Nadia Fernanda
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M. Hanif Dhakiri memaparkan berbagai problem yang dihadapi pasar lapangan kerja Indonesia saat ini, termasuk fenomena pengangguran terdidik yang, ehem, udah patut kamu cemaskan. Beliau menyampakan hal tersebut ketika menjadi pembicara dalam forum Indonesia HR Summit di hotel Tentrem Yogyakarta hari Selasa (12/9) lalu,
Dilansir dari detik.com, Menaker menyebutkan bahwa setiap tahunnya Indonesia menghasilkan kurang lebih 2 juta angkatan kerja, yang 700-800ribuan di dalamnya merupakan fresh grad perguruan tinggi. Ngenesnya, kuantitas yang tinggi ini nggak menjamin kualitas mereka yang ternyata sangat "nggak siap pakai" di dunia kerja, terutama sektor industri.
Nah, lho?!
Kalau dipikir-pikir, kesimpulan Menaker mengenai penyebab fenomena ini sebenernya klise banget. Bahkan kamu yang bukan Menaker pun bisa langsung narik kesimpulan dari fakta di atas plus beberapa fakta yang udah kamu lihat di lapangan.
Yang pertama, apa lagi kalau bukan jumlah angkatan kerja ini sangat nggak sebanding dengan pertumbuhan industri di Indonesia? Gambaran kasarnya, lowongan yang tersedia seribu bijik, tapi yang daftar sejuta orang. Klise, 'kan?
Kedua, meskipun sudah mengantongi ijazah, masih banyak banget lulusan perguruan tinggi yang memiliki kualifikasi di bawah standar.
Misalnya, ngaku sarjana komputer, tapi nggak bisa pake komputer. Atau gembar-gembor sebagai sarjana Perminyakan, tapi nggak ngerti apa-apa soal minyak. Saya aja yang mendengarnya jadi mikir keras, apalagi yang jadi tim rekrutmen di perusahaan?
Nah, problem yang ketiga yang bikin lulusan kampus Indonesia dicap "nggak siap pakai" adalah problem yang selama ini paling sering disepelekan oleh masyarakat—atau bahkan mungkin oleh kamu. Yaitu, ketidaksesuaian latar belakang pendidikan dengan bidang kerja.
“Sekolahnya apa, kerjanya apa, nggak jelas. Ini 3-4 orang dari 10 orang, angkanya 37 persen. Berarti yang sekolahnya komputer kerja di komputer, yang kesehatan kerja di kesehatan, yang migas di migas hanya 3-4 orang dari 10 orang.” ujarnya.
Yup, ternyata, menurut keterangan Pak Menteri, hanya 37 persen pekerja saja yang bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Nah, lho (2)?!
Beliau tak lupa menyoroti fakta bahwa Indonesia saat ini terdapat 4 ribuan perguruan tinggi, dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 250 juta. Angka ini pun dibandingkan dengan China yang penduduk berjumlah sekitar 1,4 milyar tetapi jumlah perguruan tingginya hanya 2 ribu.
“Penduduk (Indonesia) seperlima dari China, tetapi jumlah perguruan tingginya 2 kali lipat dari China. Bisa bayangkan output-nya seperti apa. Itu yang menjadi tantangan angkatan kerja baru. (Di Indonesia) nggak ada output pendidikan yang siap pakai, yang ada adalah output pendidikan yang siap training.”
Lebih lanjut, beliau berpendapat bahwa sistem pendidikan di Indonesia memang belum secara total berorientasi pada demand driven (berorientasi pada kebutuhan), sehingga angkatan kerja yang jumlahnya 2 juta per tahun tersebut tidak serta merta masuk ke pasar kerja. Oleh karena itu, perlu ada intervensi baik yang dilakukan pemerintah maupun dunia usaha yakni vocational training dengan berbagai bentuk pelatihan yang berorientasi pada sertifikasi profesi.
Gimana nih, menurut kamu?
***
As for me, I find it kinda funny, in a most ironic way.
Oke lah, fenomena yang sejak dulu menjadi highlight Youthmanual akhirnya disadari, dan perlahan mulai ditindaklanjuti oleh pemerintah. And we couldn’t be happier about it.
Nyatanya, “Kecocokan kemampuan dengan karier” ini rasanya masih kontradiktif sama sistem pendidikan saat ini yang cenderung masih berorientasi pada gelar saja.
Di kalangan pelajar pun, masih banyak yang mendewakan nilai, bahkan sampai menghalalkan segala cara. Sementara soal menuntut ilmu dan mengembangkan kemampuan diri, jadi nomor sekian.
Mau pilih jurusan apa aja boleh, yang penting judulnya kuliah, biar bisa dapetin ijazah untuk dipakai ngedaftar kerja. Eh nggak taunya, pas baca lowongan kerja buat fresh grad, persyaratannya kudu udah punya pengalaman minimal setahun. Yha, kekmana?
Tapi di sini saya nggak mau nyinyirin soal itu, kok. Toh pada akhirnya bukan saya yang punya wewenang untuk ngerombak sistem dan bikin kebijakan anu-itu. Peace Pak, Bu.
Soalnya, saya lebih milih buat nyinyirin kamu biar nggak terus-terusan nyalahin sistem dan malah menutup mata dari solusi yang ada di dalam diri kamu sendiri.
Jadi gini.
Saya nggak perlu sok-sokan nganalisa hasil statistik seputar kecocokan jurusan dengan karier atau skill yang diperlukan di dunia kerja dan korelasinya dengan demand lapangan kerja. Saya cukup nemenin ibu saya pergi arisan komplek dan dengerin rumpian emak-emak soal anaknya yang baru aja masuk kuliah.
Kira-kira gini, deh, skenarionya.
Ibu 1: “Anak saya alhamdulillah baru keterima di kampus XXX, nih.”
Ibu 2: “Waah, alhamdulillah! Selamat ya! Keterima jurusan apa, Bu?”
Ibu 1: “Jurusan X.”
Ibu 2: “Lho, itu jurusan apaan? Emang kerjanya itu entar mau jadi apa?”
Ibu 1: “Aduh Bu, saya juga nggak tahu. Anak saya kekeuh banget.”
Ibu 2: “Haduh… sayang banget lho, padahal anaknya mendingan masuk jurusan YYY biar bisa langsung kerja. Cari kerja susah, lah, sekarang.”
Ibu 1: “Saya juga khawatirnya begitu. Apa anaknya saya suruh ambil jurusan lain ya, jadi ngulang tahun depan?”
Ibu 2: “Ya udahlah Bu, yang penting anaknya udah dapet kuliahan. Zaman sekarang mah kerjaan nggak mesti nyambung sama jurusannya. Yang penting ijazah di tangan dulu, buat daftar kerja.”
Ibu 1: “Iya juga ya. Anak saya juga bilangnya begitu.”
Saya, yang dari awal cuma nyimak: ?????????????????
***
Saya bukanlah emak-emak yang udah punya anak, dan bukan juga si anak yang pilihan jurusan dan prospek kariernya lagi dighibahin sama mereka. But as a part of young generation, I have this kind point of view.
Menurut saya, mindset basi kayak gini (jurusan kuliah dan ilmunya nggak penting, yang penting ijazah), nih, yang bikin lulusan perguruan tinggi Indonesia nggak kunjung siap pakai. Karena kamu terlalu "nyelow" sama kondisi pasar lapangan kerja yang ujung-ujungnya menerima siapa aja. Kamu malah menjadikan kondisi tersebut sebagai suatu keuntungan, bukan ancaman.
Maklum banget kalau orangtua dan generasi-generasi terdahulu berpemikiran “Kalau nggak kuliah jurusan Kedokteran atau nggak kerja di Bank, belum sukses namanya”. Soalnya, persepsi seputar karier yang mereka tahu adalah tren karier pada zaman mereka dulu.
Tapi, sebagai generasi muda yang pikirannya lebih terbuka dan terkena paparan informasi yang lebih tinggi, c’mon, you’re better than that. You should have seen "the pattern".
Kamu udah tau kalau end goal setelah lulus pendidikan sarjana adalah untuk bekerja. Kamu sudah tau pula bahwa untuk bisa bekerja di posisi tertentu, kamu harus memenuhi persyaratan teknis dan menguasai kemampuan tertentu, baik hard skills maupun soft skills. Kamu pun pasti tau kalau untuk menguasai skill set tersebut, kamu harus melatih dirimu sendiri. Dan untuk melatih diri, kamu harus paham banget minat dan bakatmu. Be as specific as possible.
Setelah mencari tahu kemampuan dan apa saja yang dibutuhkan untuk bisa bekerja di bidang yang kamu minati, carilah pengalaman yang relevan untuk mengasah kemampuan tersebut sebanyak-banyaknya. Bisa ikut organisasi, kepanitiaan, UKM, kursus, atau cari magang—pokoknya relevan dengan kemampuan yang ingin kamu kuasai. Kalau nggak relevan, ya, cuma buang-buang waktu kamu aja.
That’s why 4 tahun kuliah jangan dipakai cuma untuk ngejar IPK dan ijazah, karena kini hal itu bukan satu-satunya parameter untuk menentukan kesiapan kamu di dunia kerja. Jadi nggak usah dijelasin lagi, lah, ya, kenapa fresh graduate yang CV-nya "penuh" lebih disukai oleh perekrut kerja.
Yang namanya kerja itu adalah gabungan antara penguasaan teori (ilmu) dan praktik, bukan cuma salah satunya. Mereka yang mendalami pendidikan keahlian terapan diharapkan untuk bisa langsung bekerja. Sedangkan di dunia kerja, seorang sarjana juga dituntut untuk bisa menjadi pribadi yang bisa memberikan solusi, dengan menerapkan teori dan ilmu yang mereka miliki. Dan akhirnya muncul inovasi-inovasi baru.
Jadi, lulusan perguruan tinggi di dunia kerja tuh nggak cuma kudu jago konsep, tapi juga kudu jago eksekusi. Gitu.
Logikanya, buat apa kamu ngabisin waktu 4 tahun untuk mempelajari sesuatu yang, toh, pada akhirnya nggak “mempersiapkan” diri di dunia kerja, yang menjadi end goal kamu. Buat apa capek-capek mendalami ilmu Keselamatan dan Kesehatan Kerja kalau nantinya kamu mau ngelamar jadi salesperson?
Intinya jangan panik, lah, ketika end goal kamu emang pengen jadi lulusan siap kerja dan ngelihat lowongan kerja yang kamu inginkan menuntut kamu untuk bisa anu-itu, karena memang sespesifik itulah kebutuhan industri kita saat ini.
Kalau kamu nggak bisa menemukan minat, mengasah kemampuan, membaca tren karier, dan menguasai skill set yang dibutuhkan untuk bisa bersaing di abad 21 sejak dini, jangan harap kamu bisa mendapatkan tempat yang kamu idamkan di dunia kerja.
But if you can, you’ll be fine.
Baca juga:
- Anak Magang yang Seperti Apa, Sih, yang Dicari Perusahaan?
-
Investasi untuk Diri Sendiri? Selain Berinvestasi Uang, Ini Dia Hal-Hal Yang Bisa Kamu Lakukan
-
21st Century Skills, Kemampuan yang Penting Dimiliki Anak Muda Agar Sukses
(sumber gambar: wp.com, detik.com, blogspot.com, taleas.com, tobiweb.id)
gimana? udh wisuda?
Ciri-Ciri Proposal Skripsi yang Baik dan Berkualitas (dan Nggak Bakal Bikin Kamu Dibantai Dosen Penguji)ka mau tanya kalo dari smk keehatan apa bisa ngambil kedokteran hewan?
Mengenal Lebih Dekat Dengan Program Studi Kedokteran HewanKak, ada ga univ yang punya jurusan khusus baking and pastry aja?
5 Program Studi yang Cocok Buat Kamu yang Suka Makanansemangat terusss https://sosiologi.fish.unesa.ac.id/
5 Jurusan yang Diremehkan, Tetapi, Memiliki Prospek Kerja yang Bagussemoga selalu bermanfaat kontennya https://sosiologi.fish.unesa.ac.id/
5 Jurusan yang Diremehkan, Tetapi, Memiliki Prospek Kerja yang Bagus