Marieta E.U. dan Widya Sesarika, Duo Instagrammer Foodie dan Fashion yang Buka-Bukaan Soal Dunia Selebgram
- Mar 22, 2016
- Fatimah Ibtisam
Di Solo, Instagramer fashion dan foodie mungkin nggak sebanyak di Jakarta, Bandung, atau Surabaya. Tapi yang jelas, mereka nggak kalah seru!
Contohnya, Instagrammer foodie dan fashion Marieta Ekananda Utami (@marieta.eu) dan Widya Sesarika (@sesarika) yang berdomisili di Solo, Jawa Tengah. Berkat nge-follow mereka, saya jadi lebih update tentang perkembangan kuliner dan fashion di Jawa Tengah, khususnya di kota Solo. Biar jadi AGJT (Anak Gaul Jawa Tengah), gitu!
Makanya, saya excited ketika beberapa waktu lalu, saya bisa ngobrol bareng dua Instagrammer yang kebetulan juga bersahabat ini. Kami ngebahas banyak hal seputar Instagram, mulai dari suka-duka jadi Instagrammer, endorse selebgram, sampai tren Instagram yang nggak mereka sukai. Intip, yuk!
Hai Marieta dan Widya! Akhirnya, kita ketemu di dunia nyata, ya. Ceritain dong, tentang aktivitas kalian saat ini!
Marieta (M): Aku lagi fokus kuliah S2 jurusan Manajemen di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS). Di luar kampus, aku suka wisata kuliner dan foto-foto untuk Instagram, pastinya.
Widya (W): Aku punya usaha clothing line cewek, Steddy Store. Trus, di samping hobi foto buat Instagram, aku juga nerima job motret untuk katalog-katalog fashion online shop. Aku juga sedang menyelesaikan skripsi di jurusan Akuntansi STIE AUB Surakarta, Kuliahku sempat agak keteteran, nih, gara-gara aku lebih memprioritaskan bisnis.
Gimana, sih, awalnya kalian jadi aktif di Instagram? Kenapa kalian memilih Instagram sebagai platform berekspresi?
M & W: Sejak masih SMA, kami udah suka foto-foto. Dulu, kami suka motret hal-hal yang menarik di sekolah, trus di-upload ke Friendster dengan efek editing yang norak, tapi keren pada zamannya, hihihi.
Kami juga sempat aktif di media sosial lain, kayak Facebook, Twitter, Path, dan Snapchat tapi akhirnya merasa sreg dengan Instagram. Sejauh ini, Instagram adalah medsos paling pas untuk menyalurkan hobi motret kami. Selain Instagram, kami berdua juga dalam proses bikin blog pribadi.
W: Dulu aku nggak pernah majang foto diri di Instagram, lho. Cuma foto objek (benda) aja, soalnya dulu aku nggak pedean! Aku mulai iseng foto diri sendiri setelah berhijab awal tahun lalu. Eh, akhirnya malah jadi ketagihan, hehehe. Sejak itu, followers pun bertambah banyak. Ternyata banyak yang suka foto OOTD-ku.
Apa hal yang penting ketika posting foto di Instagram? Ada nggak hal-hal yang kamu hindari atau justru wajib ada?
M: Bagiku, kualitas foto itu penting banget. Trus, feed Instagramku ‘kan identik dengan warna cerah, dan aku berusaha konsisten dengan ciri itu. Aku juga nggak pengen menampilkan foto yang mirip-mirip. Misalnya, walaupun sekarang ada banyak kedai roti bakar, ya aku pilih satu aja [foto kedai roti bakar] untuk ditampilkan di feed-ku.Caption juga penting, lho. Caption foto-fotoku bisa berupa informasi atau kata-kata yang menarik.
W: Baru-baru ini aku sengaja mengubah tema Instagramku jadi bergaya minimalis, dengan dominasi tone warna abu-abu. Lokasi fotonya pun harus yang minimalis dan nggak warna-warni. Akibatnya aku harus rela menghapus beberapa foto di feed-ku yang nggak sesuai dengan konsep tersebut, huhuhu. Foto kuliner juga jadi banyak yang nggak bisa masuk ke Instagram aku yang sekarang, karena nggak sesuai dengan konsepnya.
Apa prinsip kalian dalam menerima endorsement atau permintaan untuk review tempat makan / produk?
M: Aku akan nolak endorse produk atau review tempat makan yang nggak sesuai dengan konsep Instagramku. Soalnya nggak semua makanan cocok masuk Instagramku. Kalau tampilannya nggak menarik, ya nggak aku post.
Trus, saat meng-endorse, sebenarnya aku nggak mau kayak ngiklan. Pengennya, sih, post-nya tampil senatural mungkin. Aku juga selalu berusaha ngasih komentar jujur ketika meng-endorse, tanpa memberi komentar negatif. Jadi aku akan fokus ke hal positif dari hal yang aku endorse itu. Misalnya, saat meng-endorse sebuah restoran, kalau rasa makanannya biasa aja, aku akan komentar tentang servisnya yang memang bagus.
W: Sekarang aku nggak menerima undangan meliput kuliner, karena kalau foto makanan ‘kan bagusnya yang berwarna-warni, sementara feed Instagramku sekarang tone-nya warna abu-abu. Kalau diminta meng-endorse fashion item, bagiku yang penting barangnya berkualitas, sesuai dengan style-ku, dan warnanya harus hitam, putih atau abu-abu.
Sama seperti Marieta, aku menghindari memberi komentar negatif. Kalau aku memang suka dengan produk yang aku endorse, aku pasti akan dengan senang hati memuji produknya di Instagram. Tapi kalau aku kurang suka dengan produknya, aku nggak akan kasih komentar. Cuma post foto aja. Kalaupun aku punya kritik atau masukan terhadap sebuah online shop, biasanya aku sampaikan secara pribadi.
Aku punya pengalaman kurang enak, nih, soal endorsement. Dulu aku pernah kerjasama dengan perantara (agensi) endorsement yang memegang banyak online shop dan clothing line. Nah, aku diminta memilih dan meng-endorse sekitar 38 di antara 60 online shop yang mereka pegang. Ternyata, kualitas barang-barang online shop-nya nggak seperti yang aku harapkan. Malah beda dengan foto di Instagramnya.
Selain itu, bekerjasama dengan perantara gitu ternyata malah bikin aku terbebani, karena aku jadi punya kewajiban motret dan meng-upload foto-foto segudang barang dari berbagai online shop.
Sejak saat itu, aku lebih selektif untuk masalah endorsement dan memutuskan untuk nggak pakai perantara.
Sikap orang yang mengajak kerjasama juga berpengaruh, lho. Kalau ada orang yang menawarkan endorsement tapi bersikap otoriter dan banyak nuntut dengan cara yang kurang sopan, aku akan tolak tawarannya.
Apa, sih, serunya jadi Instagramer?
M & W: Bisa ketemu banyak teman dan relasi, termasuk Instagramer dari kota lain. Kami akhirnya bisa kenalan dan ngumpul bareng foodie lain ‘kan juga gara-gara Instagram. Trus, kami bertujuh akhirnya bikin akun MEALeficent untuk post foto-foto makanan. Kami juga sering jalan bareng.
Trus, apa hal-hal yang nggak enak sebagai Instagrammer?
M: Sejauh ini, Alhamdulillah semua pengalamannya positif aja. Palingan ada beberapa tawaran endorsement yang kurang cocok sama aku, tapi mereka bisa ditolak baik-baik, kok.
W: Kadang ada orang yang kasih komentar pedas di Instagramku. Orang-orang kayak begitu biasanya aku block. Eliminate negative people!
Menurut kamu, apa, sih, yang membuat feed Instagram kamu sukses dan disenangi banyak orang?
M: Mungkin karena informatif kali, ya, soalnya aku suka kasih tahu tempat kuliner baru di Solo. Aku juga suka menampilkan barang yang lucu-lucu.
W: Mungkin karena OOTD aku wearable dan simple, jadi cocok untuk banyak orang. Selain itu, [hampir semua] fotoku diambil pakai kamera, bukan handphone, jadi kualitas hasilnya baik dan banyak yang suka.
Apa pendapat kamu tentang fenomena Instagram yang gampang membuat orang “mendadak seleb” dan menjadi “role model” / “influencer”? Apakah positif atau justru negatif?
M & W: Ada positif dan negatifnya. Positifnya, Instagram jadi bisa ngasih inspirasi untuk banyak orang. Negatifnya, ada orang yang jadi memaksakan diri untuk tampil “wah” di Instagram, padahal dia belum mampu.
Ada, lho, orang yang terobsesi pengen jadi selebgram sampai membeli fake followers alias follower bayaran. Padahal kalau ada akun yang pakai fake followers, pasti ketahuan. Masa’ foto-foto di feed-nya nggak bagus, tapi yang follow sampai 100,000?
Hal menyebalkan lainnya adalah, Instagramer yang punya banyak followers kadang jadi sombong dan meremehkan Instagramer lain.
Kalau mau mengidolai selebgram, pesan aku, idolakan orang yang benar-benar berkarya di dunia nyata, deh, seperti misalnya Diana Rikasari yang punya bisnis sepatu dan sukses bikin buku. Selebgram yang cuma bermodal pakaian keren dan tampak kece difoto belum pantas dijadikan role model, karena dia belum punya karya yang nyata.
Ada nggak perubahan yang terjadi dalam keseharian kalian setelah dikenal lewat Instagram?
M: Palingan jadi suka ada yang kirim e-mail atau DM dan bilang kalau mereka suka post-an aku.
W: Waktu itu, aku dan Marieta pernah lagi pergi bareng, trus ada yang nyamperin dan minta foto bareng, hihihi.
Oya, aku sempat merasa insecure kalau pergi dengan penampilan yang rada kucel dan nggak dandan, karena pastinya kelihatan beda dengan foto-fotoku di Instagram. Tapi sekarang, sih, aku cuek. Kadang agak dandan, kadang nggak.
Apa tren yang menurut kamu paling annoying di Instagram?
M & W: Nggak suka, deh, sama tren “Don’t Judge Challenge”, soalnya melenceng dari maksud awalnya. Setahu aku, tren ini bermula ketika beauty blogger Em Ford menunjukkan wajah aslinya yang jerawatan tanpa makeup, dengan maksud supaya orang nggak saling mencela atau minder karena urusan fisik. Eh, tapi di orang-orang Instagram malah bikin video dengan wajah yang sengaja dijelek-jelekin, trus diubah jadi cantik. Nggak sesuai banget!
Kami juga nggak suka dengan tren foto dengan full lips a la Kylie Jenner.
Untuk Widya, bisa cerita tentang bisnis online shop kamu? Apakah bisnis ini berkembang setelah kamu aktif di Instagram? Trus, status kamu sebagai Instagramer mempengaruhi bisnis kamu nggak?
W: Instagram Steddy Store sudah ada sebelum aku aktif di Instagram, dan sekarang followers-nya pun lebih banyak dari follower aku. Steddy banyak terbantu oleh endorse ke para selebgram. Aku pernah endorse Pevita Pearce, lho. Tapi itu dulu, sih, sebelum Instagram seramai sekarang dan endorsement masih gratis. Cukup dengan mengirim barang.
Untuk Marieta, kepikiran bikin bisnis juga nggak?
M: Dulu, aku sempat jualan aksesoris dan kaos kaki bermotif di Instagram. Pembelinya cukup banyak, dan followers-nya mencapai 20 ribuan. Tapi karena ingin fokus kuliah S2, aku stop jualan dan akunnya pun aku jual.
Boleh tahu nggak harga endorse kalian? Trus, apakah Instagram memang dijadikan sumber pemasukan?
M: Aku nggak berniat menjadikan Instagram sebagai sumber pemasukan. Lebih untuk menyalurkan hobi, sih. Buatku, bayaran yang aku dapat cuma sebagai bonus dan simbol penghargaan, lah. Fee endorsement Instagramku murah, kok, karena followers-ku juga masih sedikit, yaitu Rp50,000 per dua kali posting.
W: Meski tujuan utamaku ber-Instagram bukan untuk mencari pemasukan, tapi Instagram memang bisa jadi sumber tambahan uang jajan.
Soal fee endorsement, aku menetapkan harga Rp100,000 per post. Ada teman sesama Instagrammer yang menjadikan Instagram sebagai sumber pemasukan utamanya, sehingga sekali menerima order endorse grup (endorse banyak online shop dari agen), dia bisa mendapat sekitar 15 juta rupiah.
Apa rencana kalian ke depannya?
M: Menyelesaikan kuliah, bikin food blog dan berkarir sebagai banker.
W: Pengen bikin clothing line hijab dan aktif blogging.
Ada tips untuk anak muda yang pengen jadi Instagrammer sukses tapi belum punya kamera dan followers-nya masih sedikit?
M&W: Mulai aja, dulu, meskipun dengan alat seadanya. Kalau nunggu punya kamera dulu, nanti nggak akan mulai-mulai.
Yang penting, lakukanlah fotografi dengan tulus dan fun. Jangan mengharapkan materi atau status selebgram. Kalau foto-foto di feed Instagram kamu memang bagus, nanti orang-orang akan “ngeh” sendiri, kok.
Oya, kalau bisa, feed Instagram kamu harus punya tema atau benang merah yang jelas dan spesifik. Jangan terlalu mencampur adukkan [foto berbagai hal], supaya followers kamu nggak bingung.
(sumber gambar: Tisam, Dok. pribadi, Instagram)
Kategori
Profesi Terkait
Profesi Terkait Lainnya
gimana? udh wisuda?
Ciri-Ciri Proposal Skripsi yang Baik dan Berkualitas (dan Nggak Bakal Bikin Kamu Dibantai Dosen Penguji)ka mau tanya kalo dari smk keehatan apa bisa ngambil kedokteran hewan?
Mengenal Lebih Dekat Dengan Program Studi Kedokteran HewanKak, ada ga univ yang punya jurusan khusus baking and pastry aja?
5 Program Studi yang Cocok Buat Kamu yang Suka Makanansemangat terusss https://sosiologi.fish.unesa.ac.id/
5 Jurusan yang Diremehkan, Tetapi, Memiliki Prospek Kerja yang Bagussemoga selalu bermanfaat kontennya https://sosiologi.fish.unesa.ac.id/
5 Jurusan yang Diremehkan, Tetapi, Memiliki Prospek Kerja yang Bagus