Berkaca dari Kasus Kebohongan yang Dilakukan Intelektual Muda dan Bahaya Berbohong Untuk Kita
- Dec 03, 2017
- Fatimah Ibtisam
Prihatin dan ngeri rasanya melihat berbagai kasus kebohongan (bahkan penipuan) yang terkait dengan akademisi muda. Mulai dari pemalsuan dokumen, bualan soal prestasi, hingga berbagai kecurangan. Kebanyakan kasus tersebut menjadi heboh hingga mencederai nama si mahasiswa yang bersangkutkan. Mirisnya lagi, sebenarnya anak muda ini punya potensi besar, tapi malah kejeblos karena suatu kebohongan (dan kebohongan lainnya).
Di tulisan ini, saya nggak membahas kasus yang menimpa mereka secara khusus, apalagi mengangkat sisi personal mereka. Saya lebih tertarik membahas soal kebohongan. Sesuatu yang kadang dianggap remeh, dan ehem, masih suka kita lakukan. Namun ternyata dampaknya bisa sangat parah dan lebih merusak daripada yang kita bayangkan.
Waktu saya masih jadi karyawan freshgrad, terjadi “skandal” di kantor. Sebenarnya perkara kecil, yaitu salah seorang rekan kerja yang sama-sama masih berstatus karyawan baru melakukan kebohongan yang kelihatannya harmless. Namun, ketika ada yang tahu ketidakberesan tersebut, si teman nggak langsung mengakui. Bahkan, ketika orang lain yang dituduh melakukannya, ia diam saja, seolah tak bersalah. Namun akhirnya, ketahuan bahwa dia lah yang melakukannya. Walau tindakannya nggak berakibat fatal dan nggak merugikan perusahaan, tapi keputusan bos kami sudah bulat: ia dipecat.
Saya ingat banget apa yang disampaikan atasan kami yang biasanya paling 'selow'. Si bos ini bilang bahwa ia bisa mentoleransi kesalahan anak buah, baik karena kurang pengalaman atau kurang punya skill, tapi dia nggak bisa mentoleransi anak buah yang berbohong. Apalagi kalau sampai orang lain yang kena getahnya. Si bos berharap tindakannya yang keras (memecat) bisa jadi pelajaran bagi yang lain. Setidaknya, bagi saya kejadian ini membekas banget.
Kenapa kita berbohong?
Katanya, manusia sudah bisa bohong sejak umur 2-3 tahun. Familiar dengan jawaban “Pe-er ketinggalan di rumah, Bu/Pak.” saat sebenarnya kamu nggak mengerjakan apa-apa? Yup, salah satu alasan berbohong adalah agar terhindar dari masalah. Ups, nggak juga sih. Kalau ingin terhindar dari masalah, seharusnya kita melakukan hal yang benar, seperti dengan mengerjakan pekerjaan rumah tepat waktu. Sementara kebohongan dilakukan lebih karena takut menghadapi konsekuensi perbuatan yang dilakukan.
Kedua, bohong demi mendapatkan keuntungan pribadi dan (biasanya) merugikan pihak lain. Contohnya, bohong punya prestasi ini itu di CV supaya bisa diterima magang/kerja. Bohong bahwa tugas yang dikumpulkan adalah karya kita, padahal minta dikerjakan orang lain. Atau berbohong ke ortu soal kerja kelompok, padahal mau nonton sama teman-teman. Rasanya nggak perlu diajarin lagi ya, kalau kebohongan atau penipuan seperti ini adalah sesuatu yang buruk. Pencapaian atau keuntungan yang diperoleh dengan cara seperti ini pun nggak bisa kamu banggakan. Parahnya lagi, di bohong seperti ini bisa bikin kamu ketagihan, lantaran kamu merasa diuntungkan.
Ada juga yang membual karena nggak pede dengan diri apa adanya atau untuk bikin orang lain terkesan. Contohnya, bilang punya ini-itu, padahal sebenarnya dia nggak mampu memilikinya. Kasian sih, yang kayak begini.
Kadang juga kita bohong lantaran terdesak. Bisa karena merasa nggak enak kalau berbicara apa adanya atau memang nggak pengen mengungkapkan sesuatu. Misalnya, saat seseorang nanya apakah kamu punya masalah. Problem sih, ada segudang, tapi karena nggak mau cerita maka kamu akan bilang baik-baik saja, atau menutupinya dengan bualan.
“Harga” Kebohongan
Bohong sering dipandang sebagai hal yang remeh, padahal ada "harga" yang harus dibayar oleh kebohongan. Yup, sekali berbohong biasanya akan disusul dengan kebohongan-kebohongan lainnya untuk menutupi ketidakjujuran kita. Kebohongan juga bisa semakin besar dan parah. Misalnya, awalnya bohong kecil, lalu kebohongan yang lebih besar, menipu orang, korupsi, mencuri, dan lainnya. Yup, banyak kejahatan dan keburukan yang bermula dari sekadar bohong.
Belum lagi kalau kamu terbiasa bahkan keasyikan bohong. Jika mula-mula merasa bersalah dan takut-takut untuk bohong, lambat laun bakal gampang dan natural untuk berkata yang tidak benar serta tipu-menipu. Kalau levelnya sudah begini, seseorang bakalan merasa ada yang kurang kalau nggak bohong. Bahkan meyakini bahwa kebohongannya adalah nyata. Ngeri, ya?
Yup, kamu bisa termasuk pathological liar yang bertindak manipulatif dengan kebohongan-kebohongan untuk mencapai tujuannya. Atau compulsive liar, yang hobi ngebo’ong, sampai nggak bisa mengontrol diri. Keduanya termasuk masalah psikologis, and guess what, banyak pathological dan compulsive liar yang ujung-ujungnya berurusan dengan hukum. Makin ngeri, kan?
Oke, kamu merasa bisa mengontrol diri dan nggak bakalan bermasalah secara psikologis. Tapi ada harga lain yang harus kamu bayar saat kebohongan kamu terungkap: kredibilitas dan juga semua usahamu. Dulu teman saya sampai dipecat karena bohong, padahal mungkin pekerjaannya termasuk baik. Banyak juga orang yang ketahuan berbohong dan akhirnya semua yang dia katakan dan lakukan diragukan. Contohnya, mahasiswa yang memalsukan satu prestasi dan ketahuan, maka prestasi lain yang ia raih juga bakalan dipertanyakan. Kredibilitasnya ancur di mata orang lain.
Pada akhirnya, orang yang ketahuan berbohong akan sulit untuk kembali berkarya dan bekerja sama dengan orang lain. Kebohongan juga merusak hubunganmu dengan orang lain. Bikin mereka kecewa sama kamu. Membangun kepercayaan itu nggak gampang lho, apalagi kalau sudah pernah menghancurkannya dengan kebohongan.
Kalaupun nggak ketauan, kamu sendiri yang merasa terbebani dengan kebohongan tersebut. Kecuali kalau kamu nggak ngerasa bersalah sama sekali, dan ini malah lebih fatal ya.
Salah kaprah jujur
Honesty is the best policy.
Saya setuju bahwa jujur adalah yang terbaik. Menurut saya nggak ada kebaikan yang dilakukan atas dasar kebohongan. Tapi seringkali orang salah kaprah memaknai kejujuran. Ada yang beranggapan bahwa jujur adalah mengatakan apapun yang dipikirkan dan dirasakan, tanpa filter. Padahal bisa jadi apa yang kita anggap, pikir, serta rasakan belum tentu benar dan bisa jadi itu menyakiti orang lain.
Alhasil banyak komentar bullying, trolling, menyakitkan, dan nggak berfaedah, dengan alasan “bersikap jujur”. Itu sih, namanya bukan jujur, tapi bablas! Prinsipnya, kalau kamu nggak bisa mengatakan sesuatu yang baik dan bermannfaat, mendingan diam. Misalnya, ngomongin kejelekan orang lain. "Tapi ‘kan, memang dia seperti itu. Apa yang diomongin kan benar," begitu kita beralasan. Trus, apa faedahnya juga "jujur" mengungkapkan kejelekan orang lain, yekan?
Sama halnya dengan suatu rahasia atau yang sifatnya pribadi. Kamu berhak menolak untuk membahasnya, sehingga nggak perlu bohong atau tipu-tipu.
Nggak bohong, perjuangan tiap hari
Bohong dong, kalau saya atau kamu bilang nggak pernah berbohong. Kadang diri kita “mentolelir” kebohongan dengan dalih kepepet, white lies, bohong kecil, dan berjuta alasan lainnya. Selalu adaaa aja godaan untuk nggak bersikap jujur. Tapi sebenarnya, kejujuran penting dan wajib dilakukan. Jujur harus dibiasakan. Tidak berbohong adalah perjuangan yang harus kita lakukan setiap hari, setiap waktu. Yuk!
Baca juga:
- 5 Cara Untuk Mengetahui Seseorang Sedang Berbohong
- Trivia Seputar Bohong: Cowok Berbohong 6 Kali dan Cewek 3 Kali dalam Sehari
(sumber gambar: slate.com, nationalgeographic.com, azquote.com, icebreakersideas.com)
gimana? udh wisuda?
Ciri-Ciri Proposal Skripsi yang Baik dan Berkualitas (dan Nggak Bakal Bikin Kamu Dibantai Dosen Penguji)ka mau tanya kalo dari smk keehatan apa bisa ngambil kedokteran hewan?
Mengenal Lebih Dekat Dengan Program Studi Kedokteran HewanKak, ada ga univ yang punya jurusan khusus baking and pastry aja?
5 Program Studi yang Cocok Buat Kamu yang Suka Makanansemangat terusss https://sosiologi.fish.unesa.ac.id/
5 Jurusan yang Diremehkan, Tetapi, Memiliki Prospek Kerja yang Bagussemoga selalu bermanfaat kontennya https://sosiologi.fish.unesa.ac.id/
5 Jurusan yang Diremehkan, Tetapi, Memiliki Prospek Kerja yang Bagus